makalah hukum internasional di indonesia
makalah hukum internasional di indonesia,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara bagaikan suatu organism maksudnya adalah bahwa Negara tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya Negara lain. Keberlangsungan hidupnya ikut dipengaruhi juga oleh negara-negara lain, terutama negara-negara tetangganya atau negara yang berada dalam satu kawasan dengannya.
Banyak faktor yang melatarbelakangi Negara yang satu sangat bergantung atau memerlukan hubungan kerja sama dengan Negara lainnya. Salah satunya adalah oleh karena faktor kebutuhan Negara itu sendiri. Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, bahwa Negara bagaikan suatu organisme, maka dengan adanya kerja sama tersebut diharapkan segala kebutuhan itu dapat terpenuhi. Akibatnya nanti juga sangat berpengaruh terhadap hubungan antara negara- negara tersebut kea rah yang lebih baik dan lebih harmonis. Namun, terkadang dalam mencapai suatu tujuan tersebut konflik juga tak dapat terhindarkan. Penyebabya adalah ada satu negara yang lebih mementingkan kepentingan sepihak dari negaranya.
Sebagai Negara yang saling berbatasan territorial maka, salah satu masalah sentral yang sangat rentan untuk memicu terjadinya konflik adalah masalah teritorial. Masalah tersebut menjadi sangat sensitif karena menyangkut kedaulatan sebuah negara. Tak jarang persengketaan tersebut meningkatkan ketegangan diantara negara-negara yang terlibat persengketaan dan bahkan memicu terjadinya konflik bersenjata yang mengakibatkan kerugian pihak-pihak yang bersengketa.
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan wilayah yang luas baik darat maupun lautan memiliki tantangan tersendiri untuk menjaga keutuhan dan persatuan serta kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara serta implementasinya salah satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah perbatasan antar Negara. Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas yaitu tanah sekitar 1,937 juta km2, luas laut kedaulatan 3,1 juta km2, dan luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta km2. Jarak dari barat ke timur lebih panjang dari pada jarak antara London dan Siberia sebagaimana yang pernah digambarkan oleh Multatuli.Indonesia merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 18.108 pulau besar dan kecil.
Termasuk dalam kawasan kepulauan ini adalah pulau-pulau besar seperti Sumatra, Jawa, sekitar tiga perempat Borneo, Sulawesi, kepulauan Maluku dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, dan separoh bagian barat dari pulau Papua dan dihuni oleh ratusan suku bangsa.Pulau-pulau ini terbentang dari timur ke barat sejauh 6.400 km dan sekitar 2.500 km jarak antara utara dan selatan. Garis terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81,000 km dan sekitar 80 persen dari kawasan ini adalah laut. Jadi di dalam daerah yang demikian luas ini terkandung keanekaragaman baik secara geografis, ras maupun kultural yang seringkali menjadi kendala bagi proses integrasi nasional. Dengan konstruksi kewilayahan yang semacam itu laut merupakan unsur yang dominan dalam sejarah Indonesia.
Republik Indonesia mempunyai batas maritim dengan 10 negara tetangga yaitu Australia, Timor Leste, Papua New Guinea (PNG), Palau, Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan India. Dalam penataan batas maritim dengan negara-negara tetangga tersebut, menurut Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim, dengan batas-batas maksimum (dihitung dari garis pangkal atau garis dasar) yang ditetapkan sebagai berikut [Agoes, 2002]: laut teritorial (territorial sea), zona yang merupakan bagian dari wilayah negara sebesar 12 mil laut, zona tambahan (contiguous zone), dimana negara memiliki yurisdiksi khusus sebesar 24 mil laut, zona ekonomi eksklusif (ZEE), zona dimana negara memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya di atas dasar laut sampai permukaan laut serta pada dasar laut serta tanah di bawahnya sebesar 200 mil laut, dan terakhir landas kontinen (continental shelf), zona dimana negara memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam pada dasar laut serta tanah di bawahnya (antara 200 – 350 nm atau sampai dengan 100 nm dari isobath (kedalaman) 2500 meter).
Garis batas antara Indonesia dan negara-negara tersebut untuk setiap zona maritim yang sudah ada, biasanya akan diberikan berupa daftar koordinat geodetik (lintang,bujur) dari titik-titik batas. Namun demikian untuk informasi koordinat batas yang ada tersebut tidak jelas menyebutkan datum geodetik (sistem referensi koordinat) nya. Ketidakjelasan tentang datum geodetik dari titik-titik batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga ini perlu secepatnya dikaji dan dievaluasi sebelum timbul permasalahan kelak.
Hingga saat ini banyak negara menghadap persoalan perbatasan dengan tetangganya yang belum terselesaikan lewat perundingan. Bahkan kebiasaan menunda penyelesaian masalah justru menambah rumit persoalan. Beberapa persoalan perbatasan dan “dispute territorial” yang cukup mengusik harmonisasi antar negara maupun ke-amanan kawasan.
Wilayah nasional suatu negara merupakan modal dasar kodrati yang perlu didaya-gunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan dan keamanan bangsa. Kemajuan teknologi, berkurangnya sumber daya alam serta pertambahan jumlah penduduk telah menjadikan ruang dunia terasa relatif semakin sempit, sedangkan dilain pihak dirasakan pula bahwa politik kekuasaan negara maju sebaliknya semakin bersifat global. Karena itu setiap bangsa berusaha menjadikan wilayah nasionalnya masing – masing suatu ruang hidup yang mampu mendukung kepentingan nasionalnya, dimana perbatasan wilayah nasional tidak hanya mempunyai dimensi politik dan hukum semata – mata tetapi juga mempunyai dimensi ekonomi dan budaya bangsa.
Menyempitnya ruang dunia membuat aspek wilayah menjadi faktor yang makin penting didalam pembentukan posisi kekuasaan maupun politik kekuasaan yang mampu menjamin tegaknya kedaulatan, integritas wilayah serta kesatuan dan persatuan bangsa. Wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia, merupakan inti dasar budaya bangsa Indonesia yang dilandasi oleh falsafah Pancasila serta kondisi dan posisi geografi wilayah Indonesia yang menentukan pola pikir dan tata laku bangsa dalam mewujudkan kehidupan nasional yang dikembangkan dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab atas pemanfaatan lingkungannya. Dilain pihak Wawasan Nusantara, sebagai konsepsi geo-politik bangsa dan negara Indonesia dikembangkan untuk menegakkan kekuasaan guna melindungi kepentingan nasional serta merentangkan hubungan internasional dalam upaya ikut menegakkan ketertiban dunia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara-cara yang dilakukan suatu negara untuk memperoleh tambahan wilayah Negara.
2. Bagaimana cara-cara yang dilakukan Indonesia untuk memperoleh tambahan wilayah Negara.
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui cara-cara yang dilakukan suatu negara untuk memperoleh tambahan wilayah Negara.
2. Untuk mengetahui cara-cara yang dilakukan Indonesia untuk memperoleh tambahan wilayah Negara.
D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat yang penulis harapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penulisan makalah ini diharapkan memberikan sumbangan pikiran dalam usaha mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan cara cara memperluas wilayah yang dilakukan Indonesia khususnya.
2. Manfaat Praktis
Penulisan makalah ini diharapkan menjadi bahan praktisi hukum dalam mengetahui cara cara yang dilakukan suatu negara dalam memperluas wilayah negaranya
E. RUANG LINGKUP
Untuk memperoleh hasil penulisan makalah yang baik serta untuk mempermudah pengumpulan data dan pembahasannya, maka materi dalam penulisan makalah ini memerlukan adanya ruang lingkup. Ruang lingkup dalam penulisan makalah merupakan hal yang penting, yaitu agar pembahasan tidak menyimpang dari tujuan penelitian semula, demikian juga agar bahan yang dicari dan diteliti dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian.
Penulisan makalah ini mengkaji masalah cara-cara yang dilakukan Indonesia untuk memperoleh tambahan wilayah negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Cara – Cara Memperoleh Tambahan Wilayah Negara
Dalam praktek maupun secara teoritis suatu negara dapat memperoleh tambahan wilayah. Penambahan wilayah suatu negara tersebut dapat terjadi melalui beberapa cara yang secara teoritis dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut :
1. Pendudukan ( Occupation )
2. Penambahan Secara Alamiah (Aaccretion )
3. Penyerahan ( Cession )
4. Merebut ( Subjugation )
5. Daluarsa ( Prescription )
Berikut ini akan di jelaskan mengenai cara-cara memperoleh tambahan wilayah negara tersebut.
1. Pendudukan ( Occupation )
Penambahan wilayah suatu negara melalui cara pendudukan harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu :
a) Wilayah yang diduduki harus belum berada di bawah kekuasaan suatu negara ( terra nullius );
b) Harus ada niat yang serius untuk tetap menguasai wilayah itu;
c) Harus ada tindakan pelaksanaan yang efektif.utama
Berdasarkan ketiga syarat diatas sesuai dengan point wilayah yang diduduki harus belum berada di bawah kekuasaan suatu Negara maka, pada saat sekarang ini yang memungkinkan dapat dijadikan objek pendudukan tersebut
adalah pulau-pulau karang ( atols ). Hal ini disebabkan pada saat sekarang dapat dikatakan sudah tidak ada lagi wilayah daratan yang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara.
2. Penambahan Secara Alamiah ( Accretion )
Penambahan wilayah suatu negara dengan cara penambahan secara alamiah ini dapat dilakukan melaiui 2 ( dua ) cara yaitu:
a) Sengaja wilayah laut ditimbun sehingga menjadi daratan
b) Terjadi karena proses alam sendiri, seperti garis pantai menjadi dangkal dan kering karena penyusutan air laut. Dimana pantai yang semula digenangi oleh laut berubah menjadi daratan.
3. Penyerahan ( Cession )
Penambahan wilayah suatu Negara dengan cara penyerahan dapat terjadi secara damai atau akibat dari suatu peperangan. Penambahan wilayah dengan cara damai dapat terjadi dengan car penghibahan atau penjualan. Sedangkan penambahan wilayah melalui peperangan, biasanya ditetapkan dalam Perjanjian Perdamaian dengan memenuhi persyaratan yang di cantumkan dalam perjanjian tersebut.
4. Merebut ( Subjugation )
Penambahan wilayah suatu negara dengan cara merebut dapat terjadi dalam suatu peperangan antara dua negara. Dimana suatu wilayah yang semula dikuasai atau diduduki oleh suatu negara kemudian oleh karena adanya suatau peperangan maka wilayah tersebut diduduki oleh negara yang lain dengan cara direbut dan kemudian tidak dikembalikan kepada pihak pemilik yang semula meskipun sudah ada perdamaian.
5. Daluarsa ( Prescription )
Mengenai penambahan wilayah suatu negara berdasarkan daluarsa hukum internasional sendiri tidak atau belum ada kesepakatan tentang jangka waktu dalam daluasa ini. Bahkan ada sarjana yang berpendapat bahwa dalam hukum internasional tidak dikenal lembaga daluarsa tersebut.
Selain kelima cara untuk memperoleh tambahan wilayah suatu negara yang tekah disebutkan di atas, dalam praktek internasional saat ini dikenal juga beberapa cara lain bagi suatu negara untuk memperoleh penambahan wilayah negaranya, yakni :
1. Klaim Sepihak ( Tindakan Sepihak )
Klaim sepihak ( tindakan sepihak ) maksudnya bahwa suatu negara secara sepihak mengumumkan/memproklamasikanatau ( dalam praktekya sering juga disebut sebagai deklarasi ) penambahan wilayah negaranya kepada masyarakat internasional. Isi dari pengumuman itu adalah memuat pernyataan keinginan dari suatu negara untuk menambah luas wilayah negaranya. Pengumuman yang dikeluarkan oleh suatu negara untuk menambah luas wilayah negaranya tersebut, tidak hanya terbatas pada wilayah yang tunduk dalam kedaulatannya, akan tetapi juga wilayah yang tunduk di bawah yurisdiksi negara bersangkutan.
2. Integrasi
Penambahan wilayah suatu negara dengan cara integrasi adalah dengan cara pernyataan masyarakat dari suatu wilayah untuk menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan suatu negara. Dengan demikian, melalui pernyataanya itu, maka dengan sendirinya wilayah yang menyatu tersebut melebur menjadi satu dengan wilayah negara tempatnya bergabung itu.
B. Cara-Cara Indonesia Memperoleh Tambahan Wilayah Negara
Dalam perkembanganya berdasrkan prakteknya Indonesia sejak merdeka sampai sekarang telah memperoleh tambahan wilayah sebanyak 3 ( tiga ) kali, yaitu melalui proses :
1. Penyerahan ( Cession )
2. Klaim Sepihak
3. Integrasi
Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai cara-cara memperoleh tambahan wilayah yang dilkukan oleh negara Indonesia.
1. Penyerahan ( Cession )
Mengenai tambahan wilayah negara Indonesia melalui proses Penyerahan ( Cession) tersebut adalah pada waktu Indonesia memeperoleh wilayah Irian Barat yang sekarang adalah Irian Jaya dari Belanda.
a) Latar belakang pengembalian Irian Barat
Apabila ditinjau dari segi politis, bahwa berdasarkan perjanjian international 1896 yang diperjuangkan oleh Prof. Van Vollen Houven (pakar hukum adat Indonesia) di sepakati bahwa ”Indonesia” adalah bekas Hindia Belanda. Sedangkan Irian Barat walaupun dikatakan oleh Belanda secara kesukuan berbeda dengan bangsa Indonesia, tetapi secara sah merupakan wilayah Hindia Belanda.
Apabila ditinjau dari segi antropologi, bahwa bangsa Indonesia yang asli adalah Homo Wajakensis dan Homo Soloensis yang mempunyai ciri-ciri: kulit hitam, rambut keriting (ras austromelanesoid) yang merupakan ciri ciri suku bangsa Aborigin (Australia) dan ras negroid (Papua).
Apabila ditinjau dari segi sejarah , bahwa Konferensi Meja Bundar yang dilakukan untuk mengatur penyerahan kedaulatan Indonesia diwarnai dengan usaha licik Belanda yang ingin terus mempertahankan Irian Barat (New Guinea) dengan alasan kesukuan. Akhirnya KMB memutuskan penyelesaian Irian Barat akan ditentukan dalam masa satu tahun setelah penyerahan kedaulatan melalui perundingan antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Belanda tetap mempertahankan Irian Barat sebagai jajahannya, dan memasukan wilayah Irian Barat ke dalam Konstitusi nya pada tanggal 19 Pebruari 1952. Dengan demikian Belanda sendiri telah melanggar isi Round Table Conference yang telah disepakati dengan RIS
b) Perjuangan diplomasi;pendekatan diplomasi
1) Perundingan Bilateral Indonesia Belanda
Pada tanggal 24 Maret 1950 diselenggarakan perundingan bilateral yaitu Konferensi Tingkat Menteri Uni Belanda – Indonesia. Konferensi memutuskan untuk membentuk suatu komisi yang anggotanya wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk menyelidiki masalah Irian Barat. Hasil kerja Komisi ini harus dilaporkan dalam Konferensi Tingkat Menteri II di Den Haag pada bulan Desember 1950. Ternyata pembicaraan dalam tingkat ini tidak menghasilkan penyelesaian masalah Irian Barat. Pertemuan Bilateral Indonesia Belanda berturut-turut diadakan pada tahun 1952 dan 1954, namun hasilnya tetap sama, yaitu Belanda enggan mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia sesuai hasil KMB.
2) Melalui Forum PBB
Setelah perundingan bilateral yang dilaksanakan pada tahun 1950, 1952 dan 1954 mengalami kegagalan, Indonesia berupaya mengajukan masalah Irian Barat dalam forum PBB. Sidang Umum PBB yang pertama kali membahas masalah Irian Barat dilaksanakan tanggal 10 Desember 1954. Sidang ini gagal untuk mendapatkan 2/3 suara dukungan yang diperlukan untuk mendesak Belanda.
Indonesia secara bertrurut turut mengajukan lagi sengketa Irian Barat dalam Majelis Umum X tahun 1955, Majelis Umum XI tahun 1956, dan Majelis Umum XII tahun 1957. Tetapi hasil pemungutan suara yang diperoleh tidak dapat memperoleh 2/3 suara yang diperlukan.
3) Dukungan Negara Negara Asia Afrika (KAA)
Gagal melalui cara bilateral, Indonesia juga menempuh jalur diplomasi secara regional dengan mencari dukungan dari negara-negara Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Indonesia tahun 1955 dan dihadiri oleh 29 negara-negara di kawasan Asia Afrika, secara bulat mendukung upaya bangsa Indonesia untuk memperoleh kembali Irian sebagai wilayah yang sah dari RI. Namun suara bangsa-bangsa Asia Afrika di dalam forum PBB tetap tidak dapat menarik dukungan internasional dalam sidang Majelis Umum PBB.
c) Perjuangan dengan konfrontasi politik dan ekonomi
Kegagalan pemerintah Indonesia untuk mengembalikan Irian Barat baik secara bilateral, Forum PBB dan dukungan Asia Afrika, membuat pemerintah RI menempuh jalan lain pengembalian Irian Barat, yaitu jalur konfrontasi. Berikut ini adalah upaya Indonesia mengembalikan Irian melalui jalur konfrontasi, yang dilakukan secara bertahap.
1) Pembatalan Uni Indonesia Belanda
Setelah menempuh jalur diplomasi sejak tahun 1950, 1952 dan 1954, serta melalui forum PBB tahun 1954 gagal untuk mengembalikan Irian Barat kedalam pangkuan RI, pemerintah RI mulai bertindak tegas dengan tidak lagi mengakui Uni Belanda Indonesia yang dibentuk berdasarkan KMB. Ini berarti bahwa pembatalan Uni Belanda Indonesia secara sepihak oleh pemerintah RI berarti juga merupakan bentuk pembatalan terhadap isi KMB. Tindakan pemerintah RI ini juga didukung oleh kalangan masyarakat luas, partai-partai dan berbagai organisasi politik, yang menganggap bahwa kemerdekaan RI belum lengkap / sempurna selama Indonesia masih menjadi anggota UNI yang dikepalai oleh Ratu Belanda.
Pada tanggal 3 Mei 1956 Indonesia membatalkan hubungan Indonesia Belanda, berdasarkan perjanjian KMB. Pembatalan ini dilakukan dengan Undang Undang No. 13 tahun 1956 yang menyatakan, bahwa untuk selanjutnya hubungan Indonesia Belanda adalah hubungan yang lazim antara negara yang berdaulat penuh, berdasarkan hukum internasional.Sementara itu hubungan antara kedua negara semakin memburuk, karena :
ü terlibatnya orang-orang Belanda dalam berbagai pergolakan di Indonesia (APRA, Andi Azis, RMS)
ü Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
2) Pembentukan Pemerintahan Sementara Propinsi Irian Barat di Soasiu (Maluku Utara)
Sesuai dengan Program Kerja Kabinet, Ali Sastroamidjojo membentuk Propinsi Irian Barat dengan ibu kota Soasiu (Tidore). Pembentukan propinsi itu diresmikan tanggal 17 Agustus 1956. Propinsi ini meliputi wilayah Irian Barat yang masih diduduki Belanda dan daerah Tidore, Oba, Weda, Patrani, serta Wasile di Maluku Utara.
3) Pemogokan Total Buruh Indonesia
Sepuluh tahun menempuh jalan damai, tidak menghasilkan apapun. Karena itu, pada tanggal 18 Nopember 1957 dilancarkan aksi-aksi pembebasan Irian Barat di seluruh tanah air. Dalam rapat umum yang diadakan hari itu, segera diikuti pemogokan total oleh buruh-buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan milik Belanda pada tanggal 2 Desember 1957. Pada hari itu juga pemerintah RI mengeluarkan larangan bagi beredarnya semua terbitan dan film yang menggunakan bahasa Belanda. Kemudian KLM dilarang mendarat dan terbang di seluruh wilayah Indonesia.
4) Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda
Pada tanggal 3 Desember 1957 semua kegiatan perwakilan konsuler Belanda di Indonesia diminta untuk dihentikan. Kemudian terjadi serentetan aksi pengambil alihan modal perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia, yang semula dilakukan secara spontan oleh rakyat dan buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan Belanda ini. Namun kemudian ditampung dan dilakukan secara teratur oleh pemerintah. Pengambilalihan modal perusahaan perusahaan milik Belanda tersebut oleh pemerintah kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958.
d) Pemutusan Hubungan Diplomatik
Hubungan diplomatik Indonesia – Belanda bertambah tegang dan mencapai puncaknya ketika pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Dalam pidato Presiden yang berjudul ”Jalan Revolusi Kita Bagaikan Malaikat Turun Dari Langit (Jarek)” pada peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke 15, tanggal 17 Agustus 1960, presiden memaklumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda.
Tindakan ini merupakan reaksi atas sikap Belanda yang dianggap tidak menghendaki penyelesaian secara damai pengembalian Irian Barat kepada Indonesia. Bahkan, menjelang bulan Agustus 1960, Belanda mengirimkan kapal induk ” Karel Doorman ke Irian melalui Jepang. Disamping meningkatkan armada lautnya, Belanda juga memperkuat armada udaranya dan angkutan darat nya di Irian Barat. Karena itulah pemerintah RI mulai menyusun kekuatan bersenjatanya untuk mempersiapkan segala sesuatu kemungkinan. Konfrontasi militer pun dimulai.
e) Tri Komando Rakyat
1) Tri Komando Rakyat
Dalam pidatonya ”Membangun Dunia Kembali” di forum PBB tanggal 30 September 1960, Presiden Soekarno berujar, ”……Kami telah mengadakan perundingan-perundingan bilateral……harapan lenyap, kesadaran hilang, bahkan toleransi pu n mencapai batasnya. Semuanya itu telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.”
Tindakan konfrontasi politik dan ekonomi yang dilancarkan Indonesia ternyata belum mampu memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Pada bulan April 1961 Belanda membentuk Dewan Papua, bahkan dalam Sidang umum PBB September 1961, Belanda mengumumkan berdirinya Negara Papua. Untuk mempertegas keberadaan Negara Papua, Belanda mendatangkan kapal induk ”Karel Doorman” ke Irian Barat.
Terdesak oleh persiapan perang Indonesia itu, Belanda dalam sidang Majelis Umum PBB XVI tahun 1961 mengajukan usulan dekolonisasi di Irian Barat, yang dikenal dengan ”Rencana Luns”. Menanggapi rencana licik Belanda tersebut, pada tanggal 19 Desember 1961 bertempat di Yogyakarta, Presiden Soekarno mengumumkan TRIKORA dalam rapat raksasa di alun alun utara Yogyakarta, yang isinya :
ü Gagalkan berdirinya negara Boneka Papua bentukan Belanda
ü Kibarkan sang Merah Putih di irian Jaya tanah air Indonesia
ü Bersiap melaksanakan mobilisasi umum
2) Pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat
Sebagai langkah pertama pelaksanaan Trikora adalah pembentukan suatu komando operasi, yang diberi nama ”Komando Mandala Pembebasan Irian Barat”. Sebagai panglima komando adalah Brigjend. Soeharto yang kermudian pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Panglima Komando : Mayjend. Soeharto
Wakil Panglima I : Kolonel Laut Subono
Wakil Panglima II : Kolonel Udara Leo Wattimena
Kepala Staf Gabungan : Kolonel Ahmad Tahir
Komando Mandala yang bermarkas di Makasar ini mempunyai dua tujuan:
ü merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan operasi militer untuk mengembalikan Irian barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia
ü mengembangkan situasi militer di wilayah Irian barat sesuai dengan perkembangan perjuangan di bidang diplomasi supaya dalam waktu singkat diciptakan daerah daerah bebas de facto atau unsur pemerintah RI di wilayah Irian Barat
Dalam upaya melaksanakan tujuan tersebut, Komando Mandala membuat strategi dengan membagi operasi pembebasan Irian Barat menjadi tiga fase, yaitu :
1. Fase infiltrasi
Dimulai pada awal Januari tahun 1962 sampai dengan akhir tahun 1962, dengan memasukkan 10 kompi ke sekitar sasaaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto.
2. Fase Eksploitasi
Dimulai pada awal Januari 1964 sampai dengan akhir tahun 1963, dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan, menduduki semua pos pertahanan musuh yang penting.
3. Fase Konsolidasi
Dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 1964, dengan menegakkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Sebelum Komando mandala bekerja aktif, unsur militer yang tergabung dalam Motor Boat Torpedo (MTB) telah melakukan penyusupan ke Irian Barat. Namun kedatangan pasukan ini diketahui oleh Belanda, sehingga pecah pertempuran di Laut Arafura. Dalam pertempuran yang sangat dahsyat ini, MTB Macan Tutul berhasil ditenggelamkan oleh Belanda dan mengakibatkan gugurnya komandan MTB Macan Tutul Yoshafat Sudarso (Pahlawan Trikora)
Sementara itu Presiden Amerika Serikat yang baru saja terpilih John Fitzgerald Kennedy merasa risau dengan perkembangan yang terjadi di Irian Barat. Dukungan Uni Soviet ( PM. Nikita Kruschev ) kepada perjuangan RI untuk mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda, menimbulkan terjadinya ketegangan politik dunia, terutama pada pihak Sekutu (NATO) pimpinan Amerika Serikat yang semula sangat mendukung Belanda sebagai anggota sekutunya. Apabila Uni Soviet telah terlibat dan Indonesia terpengaruh kelompok ini, maka akan sangat membahayakan posisi Amerika Serikat di Asia dan dikhawatirkan akan menimbulkan masalah Pasifik Barat Daya. Apabila pecah perang Indonesia dengan Belanda maka Amerika akan berada dalam posisi yang sulit. Amerika Serikat sebagai sekutu Belanda akan di cap sebagai negara pendukung penjajah dan Indonesia akan jatuh dalam pengaruh Uni Soviet.
Untuk itu, dengan meminjam tangan Sekjend PBB U Than, Kennedy mengirimkan diplomatnya yang bernama Elsworth Bunker untuk mengadakan pendekatan kepada Indonesia – Belanda. Sesuai dengan tugas dari Sekjend PBB ( U Than ), Elsworth Bunker pun mengadakan penelitian masalah ini, dan mengajukan usulan yang dikenal dengan ”Proposal Bunker”. Adapun isi Proposal Bunker tersebut adalah sebagai berikut :
”Belanda harus menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu paling lambat dua tahun”
Usulan ini menimbulkan reaksi :
1. Dari Indonesia : meminta supaya waktu penyerahan diperpendek
2. Dari Belanda : setuju melalui PBB, tetapi tetap diserahkan kepada Negara Papua Merdeka
f) Operasi Jaya Wijaya
Pelaksanaan Operasi
1. Maret – Agustus 1962 dilancarkan operasi pendaratan melalui laut dan udara
2. Rencana serangan terbuka untuk merebut Irian Barat sebagai suatu operasi penentuan, yang diberi nama Operasi Jaya wijaya”. Pelaksanaan operasi adalah sebagai berikut :
ü Angkatan Laut Mandala dipimpin oleh Kolonel Soedomo membentuk tugas amphibi 17, terdiri dari 7 gugus tugas
ü Angkatan Udara Mandala membentuk enam kesatuan tempur baru.
Sementara itu sebelum operasi Jayawijaya dilaksanakan, diadakan perundingan di Markas Besar PBB pada tanggal 15 Agustus 1962, yang menghasilkan suatu resolusi penghentian tembak menembak pada tanggal 18 Agustus 1962.
g) Persetujuan New York ( New York Agreement )
Setelah operasi-operasi infiltrasi mulai mengepung beberapa kota penting di Irian Barat, sadarlah Belanda dan sekutu-sekutunya, bahwa Indonesia tidak main-main untuk merebut kembali Irian Barat. Atas desakan Amerika Serikat, Belanda bersedia menyerahkan irian Barat kepada Indonesia melalui Persetujuan New York / New York Agreement.
Isi Pokok persetujuan :
i. Paling lambat 1 Oktober 1962 pemerintahan sementara PBB (UNTEA) akan menerima serah terima pemerintahan dari tangan Belanda dan sejak saat itu bendera merah putih diperbolehkan berkibar di Irian Barat..
ii. Pada tanggal 31 Desember 11962 bendera merah putih berkibar disamping bendera PBB.
iii. Pemulangan anggota anggota sipil dan militer Belanda sudah harus selesai tanggal 1 Mei 1963
iv. Selambat lambatnya tanggal 1 Mei 1963 pemerintah RI secara resmi menerima penyerahan pemerintahan Irian Barat dari tangan PBB
v. Indonesia harus menerima kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat rakyat di Irian Barat, paling lambat sebelum akhir tahun 1969.
Sesuai dengan perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI. Upacara berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu bendera PBB diturunkan dan berkibarlah merah putih yang menandai resminya Irian Barat menjadi propinsi ke 27. Nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya ( sekarang Papua )
h) Arti penting Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
Sebagai salah satu kewajiban pemerintah Republik Indonesia menurut persetujuan New York, adalah pemerintah RI harus mengadakan penentuan pendapat rakyat di Irian Barat paling lambat akhir tahun 1969. pepera ini untuk menentukan apakah rakyat Irian Barat memilih, ikut RI atau merdeka sendiri. Penentuan pendapat Rakyat akhirnya dilaksanakan pada tanggal 24 Maret sampai dengan 4 Agustus 1969.Mereka diberi dua opsi, yaitu : bergabung dengan RI atau merdeka sendiri.
Setelah Pepera dilaksanakan, Dewan Musyawarah Pepera mengumumkan bahwa rakyat Irian dengan suara bulat memutuskan Irian Jaya tetap merupakan bagian dari Republik Indoenesia. Hasil ini dibawa Duta Besar Ortiz Sanz untuk dilaporkan dalam sidang umum PBB ke 24 bulan Nopember 1969. Sejak saat itu secara de yure Irian Jaya sah menjadi milik RI. Dengan menganalisa fakta-fakta pembebasan Irian Barat sampai kemudian dilaksanakan Pepera, dapat diambil kesimpulan bahwa Pepera mempunyai arti yang sangat penting bagi pemerintah Indonesia, yaitu :
1. bukti bahwa pemerintah Indonesia dengan merebut Irian Barat melalui konfrontasi bukan merupakan sebuah tindakan aneksasi / penjajahan kepada bangsa lain, karena secara sah dipandang dari segi de facto dan de jure Irian Barat merupakan bagian dari wilayah RI
2. upaya keras pemerintah Ri merebut kembali Irian Barat bukan merupakan tindakan sepihak, tetapi juga mendapat dukungan dari masyarakat Irian Barat. Terbukti hasil Pepera menyatakan rakyat Irian ingin bergabung dengan Republik Indonesia.
2. Klaim Sepihak
Klaim sepihak ( tindakan sepihak ) maksudnya bahwa suatu negara secara sepihak mengumumkan/memproklamasikanatau ( dalam praktekya sering juga disebut sebagai deklarasi ) penambahan wilayah negaranya kepada masyarakat internasional. Isi dari pengumuman itu adalah memuat pernyataan keinginan dari suatu negara untuk menambah luas wilayah negaranya. Pengumuman yang dikeluarkan oleh suatu negara untuk menambah luas wilayah negaranya tersebut, tidak hanya terbatas pada wilayah yang tunduk dalam kedaulatannya, akan tetapi juga wilayah yang tunduk di bawah yurisdiksi negara bersangkutan.
Mengenai cara Indonesia memeperleh tambahan wilayah dengan kalaim sepihak adalah dengan dikeluarkannya Deklarasi Juanda 1957,yakni Indonesia mendapat tambahan wilayah perairan yang dikenal dengan Perairan Nusantara atau dalam konteks Konvensi Hukum Laut 1982 dikenal dengan istilah Perairan Kepulauan ( Archipelagic Waters ).
Setelah Dewan Menteri pada malam tanggal 13 Desember 1957 bersidang untuk memutuskan Pengumuman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia, maka pada esok harinya pengumuman tersebut disebarluaskan melalui pers dan radio baik di dalam maupun di luar negeri. Reaksi yang keras bisa diduga terutama berasal dari luar negeri. Banyak komentar yang pedas melalui siaran radio dan pers ditujukan kepada pemerintah RI. Bahkan mulai tanggal 30 Desember 1957 mengalir nota protes diplomatik dari negara-negara maritim besar melalui Departemen Luar Negeri RI. Nota protes diplomatik itu bersal dari Amerika Serikat (tanggal 30 Desember 1957), Inggris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Perancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958).
Reaksi dan protes keras dari berbagai negara besar tersebut sudah diperhitungkan oleh pemerintah Indonesia. Hal inipun sudah dicantumkan dalam pengumuman bahwa: ’Pendirian pemerintah tersebut akan diperhatikan dalam konperensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan dalam bulan Februari 1958 di Jenewa’. Oleh sebab itu sebetulnya Indonesia sudah siap mental menghadapi kecaman baik lewat media massa maupun lewat nota protes diplomatik. Bahkan pemerintah Indonesia sudah siap berdebat dalam forum internasional dalam Konperensi Hukum Laut Internasional di Jenewa tanggal 24 Februari hingga 27 April 1958.
Delegasi RI pada waktu itu diketuai oleh Mr. Ahmad Subardjo Djojohadisuryo, S.H. yang pada waktu menjabat sebagai Duta Besar RI di Swiss. Anggota-anggota delegasi antara lain Mr. Mochtar Kusumaatmadja, Goesti Moh. Chariji Kusuma, dan M. Pardi (Ketua Mahkamah Pelayaran) sebagai wakil ketua. Dalam konperensi itu, delegasi Indonesia diberi kesempatan untuk berpidato pada tanggl 7 Maret 1958. Dari pidato delegasi Indonesia inilah untuk pertama kali mayarakat politik dan hukum internasional mendengar uraian mengenai implementasi ’Archipalagic Principle’ atau asas archipelago terhadap suatu negara yang melahirkan ’Archipelagic State Principle’ yang pada waktu itu masih asing bagi dunia karena belum ada satupun negara di dunia yang mengimplementasikannya.
Setelah delegasi Indonesia menyampaikan pidatonya, muncullah reaksi yang keras dari para peserta terutama dari negara-negara yang dulu pernah menyampaikan nota protes diplomatik secara tertulis kepada pemerintah RI. Oleh karena protes ini dilakukan secara terbuka sehingga seluruh peserta yang hadir dalam sidang itu menjadi mengetahui isi pidato yang disampaikan oleh delegasi Indonesia. Salah satu kritikan pedas misalnya berasal dari ketua delegasi Amerika Serikat yang mengatakan:
’Now, for example, if you lump islands into archipelago and utilize a straight baseline system connecting the outermost points of such islands and then draw a twelve-mile area around the entire archipelago, you unilaterally attempt to convert or possibly even-internal waters, vast area of the high seas formerly freely used for centuries by ships of all countries…..by such an act, the freedom of navigation would be seriously restricted…. It would amount to the taking of other person’s property as the seas are held in common for the benefit of all people’.
Oleh karena merupakan isu baru maka masih sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara para peserta konperensi. Pada waktu itu hanya negara Filipina, Equador dan Yugoslavia saja yang bersimpati terhadap gagasan yang dimunculkan Indonesia. Namun demikian delegasi Indonesia tidak putus asa dan terus melakukan pendekatan-pendekatan terutama terhadap negara Asia dan Afrika dengan menggunakan isu semangat solidaritas konferensi Bandung. Selain itu delegasi Indonesia juga menyebarluaskan naskah ’The Indonesian Delegation to the Conference on the Law of the Sea’ yang antara lain berisi terjemahan bahasa Inggris dari Pengumuman Pemerintah tanggal 13 Desember 1957. Sedikit demi sedikit akhirnya banyak Negara yang mulai simpati teradap perjuangan Indonesia.
Untuk memperkuat kedudukan Pengumuman Pemerintah tanggal 13 Desember tersebut dalam sistem hukum di Indonesia, maka selanjutnya pemerintah mengupayakan untuk menetapkannya sebagai undang-undang. Pada tahun 1960 pengumuman tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 4/ 1960. Produk hukum inilah yang kemudian juga disampaikan pada Konverensi Hukum Laut PBB ke dua yang diselenggarakan tahun 1960. Delegasi Indonesia yang kembali diketuai Mr. Ahmad Soebardjo kembali menyampaikan Asas Negara Kepulauan dengan dasar hukum yang telah pasti dalam sidang itu. Namun demikian sidang juga belum mau mengesahkan usulan Indonesia.
Sementara itu di dalam negeri Indonesia sendiri konsep dan Asas Negara Kepulauan ini terus digodog. Pada tahun 1962 Mr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H. menyelesaikan disertasi di Universitas Padjadjaran Bandung dengan judulMasalah Lebar laut Territorial pada Konverensi Hukum Laut Jenewa, 1958 dan 1960. Sementara itu pada tanggal 25 Juli 1962 Pemerintah menerbitkan PERPU No. 8/ 1962 mengenai ’Lalu-lintas Laut Damai (Innocent Passage) Kapal Asing dalam Perairan Indonesia’. Jadi dengan demikian meskipun secara internasional implementasi asas kepulauan ke dalam tata hukum di Indonesia belum diakui, tetapi koordinasi dan penyempurnaan di dalam negeri Indonesia terus dilakukan. Bahkan ketika Belanda sudah mau menyerahkan Papua Barat kepada PBB (Perserikatan bangsa-Bangsa) sebagai mediator pada tanggal 15 Agustus 1962 dan selanjutnya PBB menyerahkan kepada RI pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah RI terus menyempurnakan implementasi asas negara kepulauan dalam sistem hukum di Indonesia.
Sejalan dengan semakin pentingnya posisi militer dalam perpolitikan di Indonesia setelah kepemimpinan Orde Baru, maka pengembangan asas negara kepulauan untuk membangun sistem pertahanan di Indonesia semakin jelas. Pada tanggal 12-21 November 1966 diselenggarakan Seminar Hankam (Pertahanan dan Keamanan) I yang berhasil merumuskan Wawasan Nusantara yang merupakan pengembangan lebih rinci dari asas negara kepulauan. Pengembangan Wawasan Nusantara di kalangan militer terus berjalan sehingga dalam Rapat Kerja Hankam pada bulan November 1967 telah disepakati perwujuan Wawasan Nusantara sebagai kesatuan wilayah, politik, ekonomi, sosio-kultural, dan Hankam. Bahkan dalam periode berikutnya Wawasan Nusantara sebaai wawasan pembangunan menjadi salah satu Ketetapam MPR sejak tahun 1973 hingga runtuhnya Orde baru. Dengan demikian kesatuan wilayah tanah-air Indonesia tidak dapat ditawar-tawar lagi, konsep pulau-demi pulau sebagaimana yang dikembangkan pada jaman kolonial Belanda tidak akan dapat dipakai lagi.
Dalam tataran internasional, Indonesia terus berjuang untuk memperoleh pengakuan implementasi prinsip negara kepulauan yang diperjuangkan sejak Deklarasi Djuanda tahun 1957. Pada tahun 1971 Indonesia dipercaya menjadi salah satu anggota penuh Committee of the Peaceful Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor beyond the Limit of National Jurisdiction yang merupakan badan PBB untuk mempersiapkan Konperensi Hukum Laut PBB. Dengan menjadi anggota komite ini, Indonesia dapat lebih leluasa untuk menyosialisasikan implementasi prinsip negara kepulauan sehingga secara internasional semakin mendapat pengakuan. Selain itu untuk menunjukkan kepada dunia sikap kooperatif Indonesia dengan negara tetangga maka serangkaian perjanjian bilateral dan multirateral diadakan khususnnya mengenai perbatasan luat dengan negara tetangga seperti Malaysia (1969), Singapura (1973), Thailand (1971), India (1974), dan Australia (1973). Perjanjian-perjanjian itu sebetulnya menunjukkan secara tidak langsung bahwa negara-negara itu telah mengakui prinsip negara kepulauan yang dianut oleh Indonesia.
Selanjutnya pda tanggal 12 Maret 1980, dengan menggunakan dasar Hukum Laut Internasional mengenai Economic Exclusive Zone Pemerintah Indonesia mengumumkan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) selebar 200 mil diukur dari garis dasar. Pada tahun 1983, pengumuman ini disahkan menjadi Undang-undang RI No. 5/ 1983. Akhirnya pada Konvensi Hukum Laut Internasional pada tahun 1982 yang dihadiri oleh 160 negara telah menyetujui berbagai konvensi termasuk yang diusulkan oleh Indonesia mengenai ZEE dan prinsip negara kepulauan. Mengenai prinsip negara kepulauan dan ZEE dalam Konvensi Hukum Laut Internasional itu ditetapkan:
‘The convention set the definition of Archipelagic States in Part IV, which also define how the state can draw its territorial borders. A baseline is drawn between the outermost points of the outermost islands, subject to these points being sufficiently close to one another. All waters inside this baseline is described as Archipelagic Waters and are included as part of the state’s territory and territorial waters. This baseline is also used to chart its territorial waters 12 nautical miles from the baseline and EEZ 200 nautical miles from the baseline’.
Dengan demikian usaha Indonesia untuk melakukan dekolonisasi sistem hukum laut kolonial sudah dapat tercapai pada tahun 1982. Proses dekolonisasi itu ternyata tidak hanya harus berhadapan dengan kekuatan kolonial Belanda yang masih memiliki kepentingan di sebagian wilayah Indonesia tetapi juga harus berhadapan dengan kekuatan internasional yang memiliki kepentingan yang beragam. Namun demikian berbagai tantangan itu justru memprekondisikan proses dekolonisasi hukum laut Indonesia itu lebih cepat dari hukum-hukum lainnya.
3. Integrasi
Proses penambahan wilayah Indonesia yang terakihr adalah melalui integrasi, yakni dengan berintegrasinya Timor Timur ke Indonesia melalui deklarasi Balibo. Adapun proses Berintegrasinya Timor Timur ke Indonesiaakan di uraikan lebih lanjut berikut ini.
Pendudukan Indonesia di Timor Timur berlangsung dari Desember 1975 hingga Oktober 1999. Setelah berabad-abad dijajah Portugis, kudeta di Portugal tahun 1974 telah menimbulkan ketidakstabilan di Timor Timur. Setelah perang saudara berskala kecil, FRETILIN menyatakan kemenangan dan mendeklarasikan kemerdekaan Timor Timur pada 28 November 1975. Dengan persetujuan Amerika Serikat dan desakan Australia, Indonesia melancarkan Operasi Seroja, sebuah operasi invasi militer ke Timor Timur pada 7 Desember 1975 dengan banyak menggunakan senjata dan perlengkapan Amerika Serikat. Hasilnya, Timor Timur menjadi provinsi Indonesia pada 17 Juli 1976 oleh Presiden Soeharto dan menetapkan Timor-Timur sebagai provinsi termuda R.I. saat itu. Nomor urutnya 27. Hal ini ditandai dengan serah-terima duplikat Sang Saka Merah Putih dan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia kepada dua putra Timor: Arnoldo Dos Reis Araujo dan Francisco Lopes Da Cruz. Melalui UU No. 7/1976, MPR/DPR mengesahkan prosesi pengintegrasian wilayah bekas jajahan Portugal itu ke pangkuan Republik Indonesia.
Kedua nama di atas kemudian menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur pertama Timor-Timur. Semenjak awalnya, wilayah ini memang sarat konflik. Ditinggalkan begitu saja tanpa tanggung-jawab oleh Portugal, penduduk di wilayah ini saling bertikai. Sudah sejak lama terjadi friksi antara dua wilayah utama di sana: Timor-Timur Barat dan Timor-Timur Timur. Pertikaian menjurus kepada kekacauan sipil dan perang saudara. Ditambah lagi kekuatiran akan berubahnya negeri itu jadi komunis, pemerintah Amerika Serikat melalui CIA melobby pemerintah Indonesia untuk bertindak cepat. Merasa mendapat angin, pemerintah Soeharto bergerak cukup cepat. Operasi intelijen dilaksanakan untuk menggalang dukungan pro-Indonesia. Operasi militer bertajuk “Operasi Seroja” pun digelar. Kekuatan ABRI untuk pertama kalinya digelar secara massif oleh pemerintah Orde Baru. Singkat kata, operasi militer berhasil karena Fretilin sebagai partai yang anti Indonesia ternyata tidak sekuat digembar-gemborkan. Operasi intelijen pun berhasil dengan mengupayakan memenangkan hati rakyat. Sayangnya, keberhasilan mengambil hati rakyat tidak berlanjut. Di kemudian hari, upaya melakukan pembangunan di provinsi itu terganjal sikap aparat keamanan yang sewenang-wenang.
Konflik di Timor-Timur seolah dipelihara sebagai ajang latihan perang. Pelanggaran HAM terjadi dengan telanjang. Akibatnya rakyat Timor-Timur muak. Dengan lobby internasional yang kuat, didahului dengan penyerahan hadiah Nobel Perdamaian 1996 bagi tokoh pemberontak Fretilin Ramos Horta dan Uskup Dili yang condong ke arah kemerdekaan Mgr.Belo, pamor diplomasi Indonesia merosot drastis. Padahal waktu itu Menlu Indonesia dijabat Ali Alatas yang jago diplomasi dan sempat dinominasikan menjadi Sekjen PBB. Kekacauan koordinasi dan arogansi aparat keamanan menyebabkan upaya diplomasi internasional menjadi sia-sia.
Momentum datang ketika Soeharto yang berupaya keras mempertahankan Timor-Timur di pelukan republik tumbang dari kekuasaan. Habibie yang menggantikannya ingin terkesan demokratis dan berupaya meraih simpati. Ia setuju mengadakan jajak pendapat. Laporan intelijen menguatkan keyakinannya bahwa mayoritas masyarakat Timor-Timur masih ingin bergabung dengan Indonesia. Tapi realitas bicara lain. Dalam jajak pendapat yang difasilitasi PBB itu, pro-integrasi dikalahkan pro-kemerdekaan.
Meski ada berbagai keanehan dalam proses jajak pendapat, toh dunia internasional mengakuinya. Maka, mau tak mau pemerintah Indonesia pun harus mengakui kalau tidak ingin mendapatkan sanksi internasional. Maka, pada 25 Oktober 1999, Indonesia menyerahkan provinsi itu kepada PBB. TNI secara resmi meninggalkan Timor-Timur pada 30 Oktober 1999 dengan upacara penurunan bendera merah-putih. Timor-Timur berpaling pada Portugal, negeri yang pernah menjajahnya selama 450 tahun dan kemudian menelantarkannya. Nama Republica Democratica da Timor Leste dipilih sebagai nama negeri. “Leste” adalah “Timur” dalam bahasa Portugis.
Bahasa Portugis yang asing dan bahasa asli Tetum yang nyaris punah dijadikan bahasa resmi. Tatanan hukum dan pemerintahan Portugal diimpor. Akhirnya pada 20 Mei 2001, pada tanggal yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional di Indonesia, Bumi Pertiwi justru kehilangan saudara mudanya. Dengan upacara mewah yang didanai PBB, negeri baru telah lahir di bumi pertiwi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai Negara yang saling berbatasan territorial maka, salah satu masalah sentral yang sangat rentan untuk memicu terjadinya konflik adalah masalah teritorial. Masalah tersebut menjadi sangat sensitif karena menyangkut kedaulatan sebuah negara.
Dalam perkembanganya berdasrkan prakteknya Indonesia sejak merdeka sampai sekarang telah memperoleh tambahan wilayah sebanyak 3 ( tiga ) kali, yaitu melalui proses :
1. Penyerahan ( Cession )
Penyerahan adalah penambahan wilayah suatu Negara dengan cara penyerahan dapat terjadi secara damai atau akibat dari suatu peperangan. Penambahan wilayah dengan cara damai dapat terjadi dengan car penghibahan atau penjualan. Sedangkan penambahan wilayah melalui peperangan, biasanya ditetapkan dalam Perjanjian Perdamaian dengan memenuhi persyaratan yang di cantumkan dalam perjanjian tersebut. Mengenai tambahan wilayah negara Indonesia melalui proses Penyerahan ( Cession) tersebut adalah pada waktu Indonesia memeperoleh wilayah Irian Barat yang sekarang adalah Irian Jaya dari Belanda
2. Klaim Sepihak
Klaim sepihak ( tindakan sepihak ) maksudnya bahwa suatu negara secara sepihak mengumumkan/memproklamasikanatau ( dalam praktekya sering juga disebut sebagai deklarasi ) penambahan wilayah negaranya kepada masyarakat internasional. Isi dari pengumuman itu adalah memuat pernyataan keinginan dari suatu negara untuk menambah luas wilayah negaranya. Pengumuman yang dikeluarkan oleh suatu negara untuk menambah luas wilayah negaranya tersebut, tidak hanya terbatas pada wilayah yang tunduk dalam kedaulatannya, akan tetapi juga wilayah yang tunduk di bawah yurisdiksi negara bersangkutan.
Mengenai cara Indonesia memeperleh tambahan wilayah dengan kalaim sepihak adalah dengan dikeluarkannya Deklarasi Juanda 1957,yakni Indonesia mendapat tambahan wilayah perairan yang dikenal dengan Perairan Nusantara atau dalam konteks Konvensi Hukum Laut 1982 dikenal dengan istilah Perairan Kepulauan ( Archipelagic Waters ).
3. Integrasi
Penambahan wilayah suatu negara dengan cara integrasi adalah dengan cara pernyataan masyarakat dari suatu wilayah untuk menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan suatu negara. Dengan demikian, melalui pernyataanya itu, maka dengan sendirinya wilayah yang menyatu tersebut melebur menjadi satu dengan wilayah negara tempatnya bergabung itu. Proses penambahan wilayah Indonesia melalui integrasi, yakni dengan berintegrasinya Timor Timur ke Indonesia melalui deklarasi Balibo. Adapun proses Berintegrasinya Timor Timur ke Indonesiaakan di uraikan lebih lanjut berikut ini
B. Saran
Sebagai sebuah bangsa yang besar dan wilayah yang luas baik darat maupun lautan maka bangsa Indonesia memiliki tantangan tersendiri untuk menjaga keutuhan dan persatuan serta kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Untuk itu diperlukan dukungan dari semua pihak untuk bersma sama menjaga keutuhan dan persatuan serta kesatuan wilayah tersebut.
Sebagai sebuah bangsa yang besar dan wilayah yang luasmaka sebaiknya Indonesia memberikan atau meletakkan garis batas antara Indonesia dan negara-negara lain untuk setiap zona maritim yang sudah ada, ( daftar koordinat geodetik (lintang,bujur) dari titik-titik batas ) yang jelas, sehingga wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak mudah diambil oleh negara lain. Selain itu masyarakat Bangsa Indonesia bersama-sama dengan aparat penegak hukumnya tetap bergandengan tangan memberikan dukungan, menjaga dan memelihara wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia supaya wilayah yang sudah menjadi bagian dari Indonesia agar tidak sampai lepas ke tangan negara lain. Selain itu tetap memperhatikan atau memberi perhatian khusus terhadap wilayah yang sulit dijangkau ( terutama wilayah yang ada di daerah Timur Indonesia ) baik dari segi sarana dan prasarana, agar wilayah tersebut jangan sampai memisahkan diri dari Indonesia seperti halnya Timor Timur. Kasus pemisahan diri dari Indonesia seperti halnya yang dilakukan Timor Timur beberapa waktu silam sebaiknya di jadikan pelajaran bagi Negara Indonesia, supaya jangan aada lagi wilayah yang terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Usmawadi dan Achmad Romsan, Hukum Internasional 1-Bagian Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Palembang. Mei 2004
invade East Timor in 1975”. World Socialist Web Site
R. Subekti & Tjitrosoedibio. 1989. Kamus Hukum. Jakarta: Praduga Paramita.
Peraturan Perundang-Undangan Nomor 8 Tahun 1962 tentang Lalu-lintas Laut
Damai (Innocent Passage) Kapal Asing dalam Perairan Indonesia
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 4 Tahun 1960 dan
diganti dengan Undang-Undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia
MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL
ANALISA SENGKETA PEREBUTAN KEPULAUAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan pada penulis sehingga penulis dapat mengerjakan penulisan makalah ini. Hanya dengan Kuasa dan Izin dari-Nya penulis memperoleh sesuatu hal yang berharga dalam kehidupan penulis pribadi secara khususnya dan pembaca pada umumnya demi kebaikan kita bersama.
Tidak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Nabi Besar Muhammad SAW, Nabi junjungan ummat Islam di seluruh dunia yang telah membawa dunia ini dengan segala pemikirannya dari pemikiran persis pada zaman kegelapan kepada pemikiran dimana pola pemikiran ummat mendapatkan penerangan dan kemajuan jaman.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Syafrinaldi, S.H.,M.Hum dan M. Risqi Azmi, SH.,MH. yang telah menuntun dan mengarahkan penulis dalam penulisan makalah ini.
Dalam berbagai hal, “tidak ada segala sesuatu yang sempurna” adalah sebuah ungkapan sangat dijunjung penulis. Sehingga penulis mengajak pembaca agar dapat memahami apabila terjadi kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Penulis sangat membutuhkan saran, kritikan dan masukan yang sifatnya membangun baik bagi penulis secara pribadi dan pembaca pada umumnya.
Pekanbaru, 22 Januari 2009
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kepulauan Falkland pada awalnya diperebutkan Inggris dan Spanyol selama bertahun-tahun. Sampai pada 1816, terjadi perkembangan baru di Amerika Selatan. Argentina menyatakan merdeka dari jajahan Spanyol, dan membuat batas wilayah negaranya sampai ke Kepulauan Falkland. Jadilah kini, Inggris yang berseteru dengan Argentina memperebutkan kepulauan di Amerika Selatan itu.
Perebutan itu terus berlangsung selama bertahun-tahun. Bahkan Argentina berhasil memasukkan masalah klaim kepulauan itu ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pada 1965, PBB mengeluarkan Resolusi 2065 yang menyebutkan perlunya penyelesaian masalah itu, dengan memperhatikan kepentingan penduduk yang ada di kawasan tersebut.
Pulau Malvinas ditemukan pada tahun 1832 oleh orang-orang Inggris dan menjadi salah satu koloni Inggris. Argentina sendiri selalu mengklaim bahwa Malvinas adalah bagian dari kawasan negaranya. Dengan alasan inilah, Aregentina menyerbu Pulau Malvinas pada tahun 1982. Tindakan Argentina ini tidak diterima oleh Inggris. Tentara Kerajaan Inggris kemudian dikirim ke kawasan itu dan terjadilah pertempuran di antara keduanya. Kecanggihan militer Inggris akhirnya mengantarkan tentara negara itu meraih kemenangan dan mengusir tentara Argentina dari Malvinas. Meskipun secara militer Argentina telah kalah, Bounes Aires masih melakukan langkah-langkah diplomasi untuk memiliki pulau tersebut. Pada abad ke-18, Louis de Bougainville asal Perancis mendirikan pangkalan angkatan laut di Port Louis, Falkland Timur pada 1764. John Byron asal Britania, yang mengabaikan kehadiran Perancis, juga mendirikan pangkalan di Port Egmont, Falkland Barat pada 1765. Pada 1766, Perancis menjual pangkalannya ke Spanyol. Spanyol kemudian menyatakan perang terhadap Britania Raya pada 1770 untuk memperebutkan seluruh wilayah kepulauan. Perselisihan tersebut berhasil diselesaikan setahun kemudian, dengan Spanyol menguasai Falkland Timur dan Britania Raya menguasai Falkland Barat. Semasa penyerbuan Britania di Rio de la Plata, Britania mencoba untuk merebut Buenos Aires pada 1806 dan 1807, namun gagal.
Masalah ini sebenarnya belum terselesaikan hingga abad ke-19. Untuk merebut Falkland, Argentina mendirikan koloni hukum pada 1820, dan pada 1829 melantik Luis Vernet sebagai gubernur. Britania Raya kembali merebut kepulauan itu pada 1833, namun Argentina tidak mau melepas klaimnya. Sejumlah ketegangan menyebabkan Argentina menyerbunya pada 1982. Namun Britania Raya kembali berhasil merebutnya. Tidak ada orang pribumi yang tinggal di Falkland ketika bangsa Eropa datang, walaupun ada beberapa bukti yang diperdebatkan mengenai kedatangan manusia sebelumnya. Namun, bukti otentik dan fakta nya tidak kredibel.
Kemerdekaan yang diraih provinsi-provinsi jajahan Spanyol di Amerika Latin pada 1816, ternyata berbuntut panjang. Argentina, sebagai negara yang baru terbentuk, selanjutnya giat mengumpulkan pulau-pulau bekas jajahan Spanyol yang dianggap layak masuk ke wilayah kedaulatannya. Di antaranya adalah Las Malvinas yang juga diklaim milik Inggris. Pertikaian demi pertikaian pun meletus dan mencapai puncaknya pada April 1982 (perang Falkland/Malvinas).
Otoritas eksekutif berada di bawah wewengan Ratu dan menjadi mandat gubernur. Pertahanan dan keamanan merupakan tanggung jawab Britania Raya. Sebuah konstitusi disusun pada 1985. Delapan orang Dewan Legislatif dipilih setiap empat tahun. Dewan Eksekutif yang menasihati Gubernur terdiri dari Kepala Eksekutif, Sekretaris Finansial dan tiga Dewan Legislatif. Dewan Eksekutif dipimpin oleh Gubernur. Dewan Legislatif terdiri dari Kepala Eksekutif, Sekretaris Finansial dan delapan Dewan Legislatif.
Kekalahan Argentina dalam perebutan Falkland mengakibatkan runtuhnya kekuasaan diktator militer Argentina pada 1983. Pertentangan mengenai kontrol kepulauan tersebut masih berlangsung hingga kini. Pada 2001, Perdana Menteri Britania Tony Blai[[1]] menjadi tokoh Britania pertama yang berkunjung ke Argentina sejak perang terjadi. Pada peringatan perang ke-22, Presiden Argentina Nestor Kirchner[[2]] berpidato dengan salah satu topiknya mengenai keyakinan bahwa Kep. Falkland suatu saat akan menjadi milik Argentina. Selama menjabat sebagai presiden pada 2003,Kirchner menjadikan kepulauan tersebut sebagai prioritas utamanya. Pada Juni 2003, isu tersebut menjadi pembicaraan sebuah komite PBB, dan berbagai langkah telah ditempuh untuk membuka pembicaraan dengan Britania untuk menyelesaikan masalah ini. Penduduk Falkland tetap melihat diri mereka sebagai warga negara Britania.
Kepulauan Falkland atau Malvinas adalah rangkaian pertempuran laut yang paling besar dan panjang sejak perang Pasifik di masa Perang Dunia II. Perang yang disebut Operasi “bersama” olehInggris, berlangsung selama lima bulan, dan melibatkan operasi-operasi amfibi yang terpenting sejak pendaratan Incheon pada 1950, saluran pipa logistik sepanjang lebih dari 10.000 km, dan daerah pertempuran musim dingin yang jauhnya 5.300 km. dari pangkalan bersahabat terdekat dekat Pulau Ascension.
Klaim Argentina atas Kep. Falkland (yang disebutnya Malvinas), didasarkan semata-mata pada kedekatan ke daratan Argentina dan apa yang disebutnya sebagai “warisan” kedaulatan dari pemerintahan Spanyol yang gagal pada 1810. Klaim ini mempunyai makna emosional penting bagi rakyat Argentina, dan telah selama beberapa generasi menjadi bagian kurikulum sejarah di sekolah negeri. Motivasi sesungguhnya bagi invasi Argentina pada April 1982 itu lebih disebabkan oleh ancaman yang dirasakan oleh junta militer Jenderal Leopoldo Galtieri yang berkuasa: ketidakstabilan internal di Argentina yang mengancam pemerintahan diktaturnya. Galtieri membutuhkan pengalihan perhatian yang mempersatukan, konflik luar untuk mengalihkan publik dan mempertahankan kontrol di dalam negeri.
Perang falkland berlangsung selama 74 hari antara Inggris dan Argentina yang memperebutkan kepulauan Falkland atau Malvinas. Malvinas mnejadi wilayah Inggris sejak 1883 dan Argentina menyatakan gugus yang terdiri dari 280 pulau itu adalah warisan sah mereka dari zaman penjajahan Spanyol yang gagal pada 1810. Inggris mengeluarkan seluruh orang Argentina dari pulau itu[[3]].
Pada 19 Maret 1982, Argentina membuka konflik dengan mendaratkan 30 kapal rongsokan di Pulau Georgia Selatan dan mengibarkan bendera Argentina. Provokasi Argentina ini adalah untuk memancing perhatian tentara Inggris yang ada di Falkland. Pertahanan di Falkland terdiri dari 79 marinir Inggris dan 120 pertahanan sipil. Tentara Inggris di Falkland segera memakan umpan strategi Argentina dengan mengirim satuan tugas ke Georgia Selatan esoknya. 22 marinir dan seorang letnan dikirim kesena dengan kapal HMS Endurance dari Port Stanley/Puerto Argentino. Mereka diperintahkan untuk mengusir kapal-kapal perang Argentina itu kembali ke Argentina. Endurance tiba pada 23 Maret dan para marinir itu mendarat[4].
Dengan alasan meyelamatkan kapal-kapal mereka, Argentina mendaratkan 100 pasukannya ke Georgia Selatan pada 26 maret. Pengalihan serangan Argentina ke Georgia selatan menjadi alasan Argentina untuk menyerang seluruh Falkland. Pada subuh 2 april 1982 hari jumat sekitar 4500 pasukan Argentina yang terdiri dari angkatan laut, darat dan udara menyerang Puerto Argentino/Port Stanley[[5]]. Pertahanan Falkland dengan ibukota Port Stanley diserbu dan diduduki pasukan Argentina dan akhirnya gubernur Inggris di kepulauan tersebut Rex Hunt menyerah pada Argentina.
Pengalihan serangan ke Georgia Selatan oleh Argentina merupakan kejutan, dan memberikan alasan bagi invasi 2 April di Pulau Falkland Timur dan direbutnya Stanley. Pasukan-pasukan tambahan Argentina tiba secara teratur dan dalam tempo 24 jam lebih dari 4000 pasukan Argentina mendarat di pulau-pulau itu.
Penguasa Argentina mengungsikan warga negara Inggris yang mendiami Falkland ke kedutaan besar Inggris dengan pesawat ke sebuah negara Amerika latin . Argentina mengangkat Jenderal Benyamin Mendez sebagai gubernur militer di Falkland. Reaksi Inggris setelah invasi Argentina ke Falkland adalah memutuskan hubungan diplomatiknya pada hari itu juga-2 april 1982.
Pada 12 April, Inggris mengumumkan Zona Eksklusif Maritim 200 mil di sekitar pulau-pulau itu, dengan maksud memperlemah pasokan Argentina dan upaya-upaya memperkuat pasukannya. Tiga kapal selam penyerang nuklir Inggris memperkuatnya sampai tibanya gugus tugas atas air tiga minggu berikutnya. Sementara kapal-kapal selam itu terus melakukan operasi-operasi blokade sementara, 65 kapal Inggris dikirim ke Falklands pada akhir April: 20 kapal perang, 8 kapal amfibi, dan 40 kapal logistik dari Pasukan Tambahan Angkatan Laut Kerajaan dan Angkatan Laut Perdagangan.
Gugus tugas Inggris membawa 15.000 orang, termasuk kekuatan pendaratan yang terdiri atas 7000 Marinir Kerajaan dan tentara. Kapal-kapal logistik membawa bekal untuk pertempuran selama sekitar tiga bulan. Akhirnya, pada 25 April, sebuah kelompok aksi atas air Inggris yang terdiri atas dua kapal perusak, enam helikopter dan 230 pasukan menaklukkan pasukan pengawal Argentina yang jumlahnya 156 orang di Georgia Selatan.
Gugus tugas AL Kerajaan Inggris tiba di timur Falkland pada1 Mei. Rencananya adalah membangun keunggulan laut dan udara dengan memikat kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat Argentina keluar dari daratan dan menghancurkan mereka, diikuti dengan pendaratan amfibi di Stanley. Dua kapal selam penyerang Inggris ditempatkan di utara Falklands untuk mengamati kapal-kapal Inggris dalam menghadapi gugus tugas AL Argentina yang utama dan kapal induk Veinticinco de Mayo, yang telah beroperasi di wilayah itu sejak 20 April.
Kapal selam ketiga ditempatkan di selatan Falkland untuk memantau Exocet yang dipasang di kapal penjelajah Argentina General Belgrano dan dua kapal perusak yang mendampinginya. Kapal selam Inggris HMS Conqueror mentorpedo dan menenggelamkan General Belgrano, yang kehilangan 368 dari 1042 awaknya. Gugus tugas Argentina di utara kembali ke pangkalan dan tetap tinggal di sana hingga perang berakhir. De Mayo menurunkan pesawat-pesawat A-4nya yang beroperasi dari pangkalan-pangkalan lepas pantai hingga perang usai.
Dalam suatu serangan kilat pertengahan mei , komando pasukan Inggris menyerbu pantai untuk meledakkan sebuah gudang mesiu dan menghancurkan pesawat terbang di pantai Peeble untuk memotong suplai ke pasukan Argentina. Argentina kehilangan 17 pesawat terbang dan Sebuah fregat Inggris tenggelam dalam suatu serangan udara Argentina terhadap satuan tugas Inggris yang mendaratkan pasukan Inggris ke kep Malvinas. HMS Ardent yang digunakan sejak 1977 dengan awak 175 orang, 20 hilang dan 30 luka. Fregat berbobot 3250 ton yang tenggelam itu adalah kapal perang ke 2 Inggris yang tenggelam selama krisis yang berjalan 7 pekan. 21 mei bendera Iggris “ Union Jack” berkibar kembali di kepualauan Falkland setelah 1000 marinir dan pasukan para lainnya mendarat di pelabuhan San Carlos. Pasukan Inggris melakukan pendaratan dengan empuk dan berhasil . Pasukan-pasukan pendarat dilengkapi dengan mortar dan senapan. Setelah pendaratan itu terjadi pertempuran di udara, darat, laut, dan udara secara besar-besaran di Malvinas. Pasukan Argentina melancarkan serangan besar-besaran yang bertujuan untuk memukul pasukan penyerang Inggris di punggung pulau itu ke laut.
11 juni, hari jumat dengan lindungan gelap malam, Inggris memulai serbuan terakhir yang lama ditungu-tunggu. Dengan pasukan Argentina yang tertidur pasukan Inggris berhasil menyelinap ke pos depan Argentina dan maju sampai lima mil dari Puerto Argentino/Port Stanley dengan memotong setiap jalan untuk lolos dari Puerto Argentino.
Serangan udara dari pangkalan-pangkalan di Argentina terhadap kapal-kapal Inggris sering terjadi selama perang. Meskipun memiliki pertahanan AAW (“anti-air warfare” – peperangan anti serangan udara) yang canggih serta menggunakan Sea Harriers yang cukup sukses dalam pertahanan udara ke udara, AL Inggris hanya bertahan dalam menghadapi kekuatan udara Argentina. Serangan pesawat Argentina menghantam sekitar 75 persen dari kapal-kapal Inggris dengan bom.
Namun hanya tiga kapal perang Inggris (satu perusak dan dua fregat) serta dua kapal pendarat yang tenggelam atau rusak berat oleh bom. Kapal-kapal Inggris lainnya yang tenggelam, satu kapal perusak (HMS Sheffield) dan satu kapal pemasok, dihantam oleh misil Exocet. AL Inggris berhasil menghancurkan lebih dari setengah dari 134 pesawat tempur Argentina selama perang dengan menggunakan kombinasi perang listrik, Harriers, misil darat ke udara, dan artileri anti pesawat udara.
Perang diakhiri dengan menyerahnya Argentina pada 14 Juni 1982, setelah tiga minggu operasi amfibi Inggris dan operasi darat mereka di Pulau Falkland Timur. Senin 14 Juni pukul 21.00 waktu setempat (Selasa pagi waktu Indonesia) pasukan Argentina menyerah di Port Stanley, setelah 74 hari menguasai kepulauan tersebut. Brigjen Mario Benjamin Menendez, Panglima Pasukan Argentina di Malvinas yang pernah bersumpah akan bertahan “sampai prajurit dan peluru yang terakhir”, menandatangani pernyataan menyerah Senin malam itu. Segera setelah itu Panglima Pasukan Inggris yang memimpin penyerbuan ke Malvinas Mayjen Jeremy Moore mengirim kawat ke PM Margaret Thatcher: “Kepulauan Falklands kembali berada di bawah pemerintahan Inggris seperti dikehendaki penduduknya. God save the Queen.”
Tiga posisi pertahanan Argentina sehari sebelumnya telah jatuh: Tumbledown Mountain dan Mount William di sebelah barat daya kota dan Wireless Ridge di barat laut. Tinggal “Lini Galtieri” yang merupakan garis pembelaan Port Stanley terakhir, yang dipertahankan sekitar 7.000 tentara Argentina. Sambil melemparkan granat, pasukan payung dan pasukan komando Inggris bergerak maju dari berbagai posisi mereka, mengepung Argentino dan selama beberapa hari dihujani tembakan dari laut, mortir dan artileri, yang sudah terkepung rapat.
Banyak tentara Argentina yang dilaporkan melemparkan senjata mereka dan lari mundur. Menjelang senja, bendera-bendera putih terlihat dikibarkan dari bangunan-bangunan kayu di sekeliling kota pelabuhan tersebut. Pertempuran telah berakhir. Kemenangan ini disambut gembira di Inggris. Ratu Elizabeth II[[6]], yang putranya Pangeran Andrew, 22 tahun, bergabung dalam satgas ke Malvinas sebagai pilot helikopter, menyatakan “gembira dan lega”.
PM Thatcher[[7]] mempertimbangkan untuk mengunjungi Malvinas. Maksud dan tujuan mengunjuni pulau tersebut adalah untuk memanfaatkan kemenangan yang mengangkat tinggi popularitasnya ini untuk kepentingan politiknya. Mengenai masa depan Malvinas, Thatcher telah mengisyaratkan: pemerintahan sendiri tampaknya merupakan penyelesaian jangka panjang terbaik. Namun Inggris juga menghadapi masalah: 11 ribu pasukan Argentina yang menyerah (banyak di antaranya sakit dan kelaparan) jelas merupakan beban.
Perang yang menewaskan 243 tentara Inggris dan 420 tentara Argentina (menurut pengumuman resmi, walau diduga lebih banyak lagi yang tewas) menimbulkan guncangan lebih hebat di Argentina. Protes terhadap kekalahan di Malvinas berubah menjadi protes pada rezinl militeryang berkuasa. Kekalahan di Malvinas memang telah mengakhiri dukungan populer rakyat kepada junta militer Argentina yang telah berkuasa selama 6 tahun terakhir. Tatkala Presiden Galtieri melancarkan serbuan dan menduduki Malvinas 2 April lalu, sekonyong-konyong Argentina yang terpecah belah seakan bersatu. Galtieri, 55 tahun, mendadak dianggap pahlawan bangsa. Puluhan ribu orang berteriak menyebut namanya dalam suatu demonstrasi dukungan rakyat segera setelah tentara Argentina menduduki Malvinas[[8]].
Kini situasi berbalik. Galtieri, yang memerintahkan Brigjen Menendez menyerah, dianggap sebagai pengkhianat bangsa. Letjen Leopoldo Fortunato Galtieri malahan kehilangan dukungan para rekannya. Selasa malam, sehari setelah tentara Argentina di Malvinas menyerah, para jenderal yang berkuasa memutuskan untuk mengganti Galtieri. Ia diberi pilihan: mengundurkan diri atau didepak ke luar. Galtieri, yang menjabat presiden selama 6 bulan, memutuskan mundur sebagai Panglima AD dan Presiden.
Selesainya perang di Malvinas mengembalikan Argentina kepada situasi dalam negeri yang sulit, yang kini mungkin lebih parah. Keadaan ekonomi: inflasi mencapai 131%, angka pengangguran 13% dan resesi ekonomi dunia yang memukul hebat industri dalam negeri, jelas menghantam negara yang berpenduduk sekitar 36 juta tersebut. Kekalahan Argentina akhirnya membuat presiden Argentina Jenderal Leopold Galtieri mengundurkan diri sebagai panglima AD dan presiden. BBC mengomentari pengunduran diri itu “orang yang memulai perang di Falkland menjadi korbannya yang paling akhir.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perspektif Hukum Internasional terhadap perebutan kepulauan falkland/malvinas dan dampak yang di timbulkan dari peperangan ?
2. Apa kendala penyelesaian sengketa kepulauan falkland/malvinas ?
3. Tujuan Pembuatan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk:
· Untuk mengetahui perspektif Hukum Internasional terhadap perebutan kepulauan falkland/malvinas dan dampak yang di timbulkan
· Untuk mengetahui kendala penyelesaian sengketa kepulauan falkaland/malvinas
4. Manfaat Pembuatan
- Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut dalam aspek yang sama maupun aspek yang berhubungan
- Bagi penulis sendiri, untuk mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan penulis dalam Mata Kuliah Hukum Internasional yang telah dipelajari pada masa perkuliahan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Hukum Humaniter
Istilah Hukum Humaniter[[1]] atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971, Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.
Secara implisit dalam pengertian perjuangan Nasional atau memperjuangkan kepentingan Nasional, tidak dapat dilepaskan dengan kemungkinan-kemungkinan adanya pertentangan kepentingan dengan bangsa lain, bahkan pula pertentangan kepentingan antar kelompok dalam tubuh bangsa sendiri. Dari sini timbullah situasi konflik. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan akomodasi, integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan tekanan dan kekerasan, tidak terbatas selalu dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi bidang kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut. Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Pada hakekatnya perang adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan.
Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya.
Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang bersifat nasional maupun internasional. Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau dapat melebihi.
Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.
3. Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatunon-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir.
Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
4. Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.
1. Dieter Fleck
Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara.
2. Pietro Verri
Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.
3. Hans-Peter Gasser
Konflik non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut.
Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.
Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjatasenjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakantindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga :
- Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
- Penyanderaan;
- Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
- Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensikonvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa.
Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1. Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah sematamata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.
BAB III
PEMBAHASAN
Kepulauan Falkland adalah sebuah wilayah luar negeri Britania Raya Samudra Atlantik Selatan yang terdiri dari dua pulau utama, Falkland Timur dan Falkland Barat, serta beberapa pulau kecil. Ibu kotanya, Stanley, terletak di Falkland Timur[[1]]. Kedaulatan kepulauan ini dipertentangkan oleh Argentina yang menamakannya Islas Malvinas dalam bahasa Spanyol. Nama itu diambil dari bahasa Perancis Iles Malouines yang berasal mula ketika nelayan dari St Malo menduduki Falkland pada masa yang singkat. Kepulauan Falkland digolongkan oleh Komite Dekolonisasi PBB sebagai salah satu dari 16 Wilayah Jajahan di dunia. Kepulauan Falkland terletak 483 km dari daratan Amerika Selatan. Dia terdiri dari dua pulau utama, Falkland Timur dan Falkland Barat , dan sekitar 700 pulau-pulau kecil. Luas wilayah daratan sebesar 12.173 km² dengan panjang garis pantai ±1.288 km[[2]].
Menurut catatan orang-orang Spanyol dan Argentina, pulau Falkland pertama kali ditemukan oleh navigator Esteban Gomez, yang berlayar bersama Magelan. Catatan orang Inggris menganggap orang yang melihat pertama kali pulau tersebut adalah pelaut Jhon Davis.[[3]]
Pulau tersebut tetap diduduki sampai dengan tahun 1764, pada saat pendudukan (perkampungan) efektif dilakukan oleh Perancis di Port Louis di timur Falkland. Perkampungan tersebut kemudian dijual pada Spanyol (dan dinamai menjadi Port Solelad) di tahun 1767, dan dipertahankan oleh Spanyol sampai dengan tahun 1811. Sementara itu, pendaratan Inggris di tahun 1765 di pulau Saunders, satu mil dari Falkland barat, diikuti dengan pembangunan perkampungan di Port Egmont (di Falkland Barat) satu tahun kemudian. Penduduk Inggris tersebut diusir oleh pasukan Spanyol di tahun 1770 (mengikuti pertukaran deklarasi pemerintah Inggris dan Spanyol) dan penduduk Inggris tersebut menarik diri secara selanjutnya di tahun 1774.
1.Perspektif Hukum Internasional Terhadap Perebutan Kepulauan Falkland/malvinas dan Dampak yang Ditimbulkan dari Peperangan
“Frontiers are the chief anxiety of nearly every Foreign Office in the civilized world“, demikian tukas Lord Curzon dalam kuliahnya yang termasyhur di Universitas Oxford pada tahun 1907, genap seratus tahun yang silam. Pernyataan mantan Wakil Kerajaan Inggris yang menyelia lima komisi perbatasan di anak benua India sebelum menjadi Menteri Luar Negeri itu mengandung kebenaran profetis. Dua Perang Dunia yang berkecamuk sesudahnya tidak lepas dari ambisi teritorial sejumlah aktor penting percaturan politik dunia pada masa itu.
Konflik-konflik internasional paling serius dalam sejarah umat manusia seringkali berpangkal dari klaim wilayah yang tumpang tindih di sepanjang garis perbatasan. Penelitian empiris di kemudian hari bahkan menunjukkan bahwa dibandingkan isu lainnya, masalah perbatasan berpotensi dua kali lipat lebih besar untuk tereskalasi menjadi konflik bersenjata.
Di berbagai penjuru dunia, kontrol atas wilayah merupakan sesuatu yang diperebutkan tanpa ragu mengorbankan nyawa manusia. Kepulauan Falkland/Malvinas adalah salah satu saksi sejarah pertumpahan darah akibat perebutan wilayah. Peta dunia kontemporer seperti sekarang ini bukanlah sesuatu yang statis.
International Boundaries Research Unit (IBRU) di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa dewasa ini masih terdapat berpuluh-puluh perbatasan darat dan laut serta klaim kedaulatan atas sejumlah pulau yang secara aktif dipersengketakan. Bahkan masih terdapat ratusan perbatasan maritim internasional yang belum disepakati oleh negara-negara yang berbatasan. Memang, banyak di antara pertentangan yang terjadi baru berlangsung di tataran diplomasi, namun tidak tertutup kemungkinan hal itu memburuk menjadi konflik yang berujung perang: “war starts where diplomacy ends“.
Sejarah dunia hanya mengenal tiga cara untuk mensahkan perbatasan antarnegara: negosiasi, litigasi, atau kekuatan bersenjata. Dalam studi konflik internasional, dengan mudah terlihat bahwa sengketa wilayah masih merupakan sumber pertentangan yang paling potensial. Dengan demikian, masalah perbatasan antarnegara adalah suatu ancaman yang konstan bagi perdamaian dan keamanan internasional. Karena menyangkut kedaulatan yang seringkali sifatnya tidak dapat dinegosiasikan (non-negotiable), konflik teritorial tergolong pertentangan yang paling sulit dipecahkan.
Negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam penentuan batas maritim, UNCLOS 1982 mendorong negara-negara untuk menentukannya melalui jalur perundingan. Indonesia juga sudah mengimplementasikan ketentuan-ketentuan tersebut ke dalam hukum nasional. Ketentuan UNCLOS yang mengharuskan negara untuk berunding adalah [[4]]:
- Pasal 83 : Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan berdasarkan hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai penyelesaian yang adil.
- Pasal 74 : Penetapan ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan berdasarkan hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai penyelesaian yang adil.
Perbatasan internasional juga merupakan faktor penting dalam upaya identifikasi dan pelestarian kedaulatan nasional. Bahkan negara-negara bertetangga yang menikmati hubungan yang paling bersahabat pun perlu mengetahui secara persis lokasi perbatasan mereka guna menegakkan hukum dan peraturan masing-masing negara. Oleh karena itu, penetapan perbatasan antarnegara secara jelas tidak hanya dapat mengurangi resiko timbulnya konflik perbatasan di kemudian hari, tetapi juga dapat menjamin pelaksanaan hukum di masing-masing sisi perbatasan.
1.1 Dampak yang Ditimbulkan dari Peperangan
Bagi kedua negara, peperangan tersebut lebih menunjukkan strategi besar dari negara-negara yang tengah bergelut dengan kemerosotan status masing-masing. Argentina yang perekonomian dan rakyatnya merosot tajam (saat itu) memerlukan pengalihan perhatian. Sedangkan Inggris yang juga merosot statusnya (saat itu) sebagai kekuatan imperial besar perlu menunjukkan kepada dunia bahwa dia tetap tidak boleh diremehkan. Akibat kekalahan argentinapada perang ini ditambah masalah-masalah ekonomi yang semakin parah di dalam negeri, Pemerintah Militer Argentina mulai mendorong transisi bertahap dan membawa negara itu kepada pemerintahan yang demokratis. Dengan tekanan publik, junta militer Argentina akhirnya menghapuskan larangan-larangan terhadap partai-partai politik dan memulihkan kebebasan-kebebasan politik yang mendasar. Argentina berhasil kembali kepada demokrasi dengan damai.
1.1.1 Pemulihan hubungan diplomatik
Argentina memulihkan hubungan diplomatiknya dengan Inggris. Pada September 1995, Argentina dan Inggris menandatangani suatu perjanjian untuk meningkatkan eksplorasi minyak dan gas di Atlantik Barat Daya, dan menghapuskan masalah yang potensial sulit serta membuka jalan untuk kerja sama lebih jauh antara kedua negara. Pada tahun 1998, Presiden Argentina (saat itu) Carlos Menem mengunjungi Inggris dalam kunjungan resmi pertama oleh seorang presiden Argentina sejak tahun 1960-an[[5]].
1.1.2 Pasang Surut hubungan Argentina – Inggris
Hubungan kedua negara ini setelah berakhirnya Perang Malvinas memang telah mulai membaik sejak era 90-an, namun tak bisa dipungkiri masih ada riak-riak kecil yang timbul seperti pada 2007 saat Presiden Argentina (saat itu) Nestor Kirchner menyatakan kemenangan yang diperoleh Pemerintah Inggris ketika perang untuk memperebutkan Malvinas hanya "kemenangan kolonial" sementara. Kirchner juga menegaskan kepada mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Margaret Thatcher bahwa Inggris memang memenangi perang karena memperoleh dukungan dari negara-negara besar lainnya. Namun sebenarnya, kata Kirchner, sampai sekarang rakyat Argentina sebagian besar menilai Malvinas masih bagian Argentina[[6]].
Menanggapinya, mantan PM Thatcher saat berpidato di radio memperingati 25 tahun Perang Malvinas, kembali menegaskan keputusannya mengirim pasukan ke Atlantik Selatan pada bulan April 1982 adalah sebuah tindakan yang benar. "Agresi sudah dikalahkan dan situasi sudah kembali pulih. Ketika itu kami menjunjung tinggi keinginan rakyat setempat dan kami anggap sangat penting," demikian kata Thatcher di radio[[7]].
Thatcher juga berpesan supaya rakyat Falkland tetap bisa hidup dengan cara-cara mereka sendiri sesuai dengan situasi di Falkland untuk mencapai kesejahteraan di masa mendatang dengan pemerintahan yang sesuai amanat hati nurani rakyat. Pesan Thatcher tersebut seakan ingin menegaskan bahwa apa pun perubahan yang terjadi di Inggris harus memperoleh dukungan dari rakyat kepulauan itu.
Hingga saat ini Inggris memang masih menolak menyerahkan Falkland/Malvinas kepada Argentina dengan alasan rakyat Falkland tidak bersedia "kembali" ke wilayah Argentina. Pemerintah Inggris juga masih mempertahankan markas militer yang besar di Kepulauan Falkland. Namun, berbagai peninggalan zaman perang kini sudah dijadikan situs wisata[[8]].
Oleh sebab itu, tak bisa dipungkiri masalah sengketa ini masih tetap akan jadi komoditi politik bagi para elit kedua negara untuk menarik simpati rakyat walaupun mungkin rakyatnya sendiri sudah cuek-bebek dan lebih memilih melakukan rivalitas di lapangan hijau sepakbola.
1.1.3 Pembelajaran Perang Falkland/Malvinas
Perang Malvinas juga mengajarkan pada kita tentang pemahaman strategi perang secara mendalam dan juga Perang Malvinas juga mengajarkan pada kita tentang penerapan strategi perang dalam kehidupan sehari - hari atau dalam dunia usaha atau bisnis. Argentina secara terang - terangan melakukan serangan secara frontal dengan Inggris dengan tanpa melakukan perhitungan secara mendetail tentang kekuatannya sendiri baik dalam kekuatan angkatan udara, kekuatan angkatan laut dan kekuatan angkatan darat. Penyerangan pertama yang dilakukan oleh pihak Argentina memang dilakukan oleh tentara profesional dan tentara wajib militer (Conscript). Sayangnya sebagian besar kekuatan yang menduduki kepulauan ini adalah tentara wajib militer yang tentu secara moral berbeda jauh dengan tentara regular atau professional. Dari pihak angkatan udara Argentina sendiri tidak ada dukungan logistik yang baik terutama dukungan amunisi peluru kendali anti kapal (Anti Ship Missile). Pihak angkatan udara hanya didukung kurang dari 10 missile Exocet buatan Perancis.
Dari pihak angkatan laut, Argentina mempunyai satu kapal induk Vientico de Mayo yang termasuk kategori alumni perang dunia II dan beberapa kapal perang termasuk General Belgrano (Battleship) yang juga lulusan perang dunia II. Presiden Argentina yang berkuasa saat itu Jendral Leopoldo Galtieri membuat keputusan yang menjerumuskan Argentina ke dalam perang yang tidak berimbang dan membawa dampak ekonomi yang sangat luas melawan Inggris dimana secara ekonomi Ingris jauh lebih unggul secara materi maupun kualitas dalam armada perangnya meski armada perang Inggris yang dibawa kalah secara kuantitas atau jumlah.
Perang Malvinas ini juga membuka cakrawala baru dalam strategi perang udara dan perang anti kapal secara menyeluruh dimana perang Malvinas ini merupakan perang modern yang menerapkan keunggulan strategi dan teknologi perang meliputi penggunaan radar, missile atau peluru kendali anti kapal dan anti pesawat, kapal induk, kapal perang termasuk kapal selam ( Baik berteknologi Nuklir dan Diesel konvensional ), kapal berjenis Fregat ( Kapal perang ringan anti pesawat ), kapal berjenis Cruiser / Perusak ( Kapal perang anti pesawat dan kapal selam ) dan kapal logistik.
Inggris membawa teknologi perang generasi terakhir pada matra udara dan lautnya. Pada matra laut Royal Navy membawa dua kapal induknya dimana peranan kapal induk ini sangat vital mengingat Inggris jauh dari pangkalan udaranya. Pada matra udaranya Inggris juga membawa pesawat generasi akhir yang baru saja masuk skuadron angkatan lautnya yaitu pesawat Harrier yang mampu tinggal landas secara vertikal ( VTOL - Vertical take off and Landing ).
2. Kendala Penyelesaian Sengketa Kepulauan Falkland/Malvinas
Walaupun sudah 28 tahun, sengketa kedaulatan pulau Malvinas atau Falkland terus mengundang perdebatan dan kontroversi atas kepemilikan pulau yang diperebutkan Inggris dan Argentina. Tahun 1982 di bulan Mei, perang berskala besar terjadi antara kedua negara itu. Konon, perang Malvinas bukan saja menyoal perebutan pulau, namun juga ajang adu gengsi dan harga diri dua negara.
Mulanya, seperti pada tulisan saya sebelumnya yang membahas tentang ini disebabkan ketika sebuah kapal perang Inggris Clio pada tahun 1833 secara tiba-tiba muncul di Pulau Falkland dan berlabuh di sana dengan menurunkan bendera Argentina yang terdapat pada pulau itu yang digantikan dengan menaikkan The Union Jack. Hal ini memicu emosi Argentina karena merasa harga dirinya di injak-injak dengan penurunan bendera itu. Setelah itu kedua negara saling klaim dan saling tuduh kerena telah berbuat seenaknya terhadap kepulauan itu. Sehingga sampailah terjadinya perang besar antara Argentina dan Inggris dalam memperebutkan hak penuh atas kepulauan Malvinas atau Falkland pada bulan Mei 1982, kedua negara sama-sama mengerahkan pasukan dan persenjataan militernya untuk meraih kemenangan walaupun Argentina lebih lemah secara militer dibanding Inggris tetapi Argentina melakukan serangan lebih dulu dan mengerahkan militernya dengan sangat maksimal, padahal kondisi dalam negeri Argentina saat itu sedang kacau sepeninggal diktator Juan Peron. (Angkasa, Guerra De Las Malvinas, 2007)[[9]].
Keadaan di dalam negeri Inggris dan Argentina saat itu juga menjadi sebab musabab kenapa perang yang mempertaruhkan sebuah pulau yang memiliki cuaca buruk dan tidak terlalu menarik dari sisi ekonomi, harus terjadi. Inggris yang ketika itu mengalami krisis pengakuan internasional sebagai negara imperial, mengambil resiko untuk berperang dengan Argentina, supaya negaranya kembali mendapat pengakuan dan tak bisa diremehkan. Sedangkan situasi Argentina yang mengalami kemerosotan ekonomi dan krisis kepemimpinan sepeninggal seorang diktator yang menguasai negara itu, sepakat melawan Inggris hanya untuk mengalihkan perhatian rakyatnya.
Rabu (19/5), kantor berita reuters melaporkan bahwa, Presiden Argentina, Cristina Kirchner, kembali meminta dibukanya pintu perundingan masalah kepulauan Malvinas (Falkland) dengan Inggris yang memanfaatkan panggung KTT Uni Eropa-Amerika Latin yang berlangsung di Madrid, Spanyol, untuk menyampaikan seruan bagi dibukanya kembali perundingan masalah sengketa kepulauan tersebut[[10]].
Namun Inggris merespon dengan penolakan akan seruan Cristina ini, yang menginginkan dibukanya kembali perundingan persengketaan. Pada Februari 2010, kedua negara juga mengalami ketegangan akibat sengketa klasik ini. Saat itu, Christina mengeluarkan dekrit untuk mengontrol semua pelayaran ke dan dari kepulauan itu.
Walapun begitu, hubungan dan kerjasama kedua negara di bidang lain tak terganggu dengan sejarah perang yang menewaskan sekitar seribu orang itu.
Ada benarnya memang jika melihat niat Christina dalam hal ini Argentina untuk berunding kembali dengan Inggris terkait masalah Malvinas (Argentina) atau Falkland (Inggris). Kekhawatiran akan terbukanya kembali masalah ini di masa mendatang terbuka lebar, bahkan bukan tak mungkin akan mempengaruhi hubungan kedua negara akibat perang yang dahulu sebagian besar disebabkan karena gengsi.
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
1.1 Kesimpulan dari Prespektif Hukum Internasional
Konflik-konflik internasional paling serius dalam sejarah umat manusia seringkali berpangkal dari klaim wilayah yang tumpang tindih di sepanjang garis perbatasan. Penelitian empiris di kemudian hari bahkan menunjukkan bahwa dibandingkan isu lainnya, masalah perbatasan berpotensi dua kali lipat lebih besar untuk tereskalasi menjadi konflik bersenjata.
Di berbagai penjuru dunia, kontrol atas wilayah merupakan sesuatu yang diperebutkan tanpa ragu mengorbankan nyawa manusia. Kepulauan Falkland/Malvinas adalah salah satu saksi sejarah pertumpahan darah akibat perebutan wilayah. Peta dunia kontemporer seperti sekarang ini bukanlah sesuatu yang statis.International Boundaries Research Unit (IBRU) di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa dewasa ini masih terdapat berpuluh-puluh perbatasan darat dan laut serta klaim kedaulatan atas sejumlah pulau yang secara aktif dipersengketakan.
Begitu juga dengan perebutan atau sengketa kepulauan falkland yang di perebutkan oleh negara inggris dan argentina, jadi peperangan yang terjadi kedua negara tersebut masi wajar walaupun mengakibatkan adanya korban jiwa, kemeresotan perekonomian, namun tidak melanggar hukum perang yang sesuai dengan peraturan HI dan hukum Militer.
1.2 Kesimpulan dari kendala penyelesaian sengketa kepulauan Falkland
Inggris dan Argentina saling mengklaim kepulauan yang mengandung cadangan minyak tersebut. Bagi Argentina, kepulauan yang disebutnya Malvinas itu merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah kedaulatannya. Sebaliknya Inggris mengklaim bahwa ia telah menguasainya sejak 1833.
Pada 1982, kedua negara bahkan sempat terlibat perang yang dimenangkan Inggris setelah Argentina mengambil kepulauan itu.
2. Saran
2.1 Saran
Dalam kasus sengketa kepulauan falkland antara inggris dan argentina, Hukum internasional dalam prespektif nya seharusnya mengusahakan negosiasi antara kedua negara, negosiasi ini di harapkan dapat memperkecil permasalahan yang terjadi dan menentukan siapa yang menjadi pemilik pulau falkland tersebut.
2.2 Saran
Sebaiknaya kepulauan yang falkland tersebut di bagi dua oleh negara tersebut, karena kedua negara tersebut sama-sama mengakui kepulauan tersebut milik kedua negara dengan mengatakan bahwa kepulauan itu sudah lama di kuasai oleh inggris dan argentina mengatakan bahwa kepulauan itu bagian dari wilayah mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Zulkarnain, S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan HAM, Fakultas Hukum Untad, Palu, 2002.
Ali M. Sungkar, Peran Strategis Deplu Dalam Menjaga Keutuhan NKRI
Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni, Bandung, 2002.
Raden Terry Subagja, Overlapping Claim Blok Ambalat: DasarKlaim dan Mekanisme Penyelesaian, Jurnal Diplomasi Kementerian Luar Negeri Vol.2 No.4, Desember 2010, hlm 72.
ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
Penghormatan Terhadap Hukum Humaniter Internasional : Buku Pedoman untuk Anggota Parlemen No. 1 tahun 1999, ICRC, 1999.
C. de Rover, To Serve & To Protect : Acuan Universal Penegakan HAM, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Brig. Jend TNI. (Purn). GPH. Haryo Mataram, S.H, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988.
Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Agustus 1999.
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0705/28/teropong/3559326.htm
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0706/16/ln/3604487.htm
http://luar-negeri.kompasiana.com/2010/05/20/sengketa-malvinas-tak-kunjung-usai
[[3] ]Kepulauan Falkland, yang terletak sekitar 300 mil dari pantai Argentina, adalah sebuah Crown Colony (koloni inti) dari Hukum Konstitusional British. Kedaulatan atas mereka juga diklaim oleh Argentina, yang mengklaim Malvinas. Yang kebanyakan penduduk kecil penetap sebanyak sekitar 3000 orang yang kebanyakan berasal dari keluarga Inggris dari awal abad ke-19 dan seterusnya. Perairan pulau berisi kompleks pemancingan dan diduga memiliki nilai komersil karena terdapat endapan minyak dan gas. Sedangkan pada tahun 1982 pendudukan Argentina di pulau-pulau Falklands,Hubungan diplomatik antara Argentina dan Inggris dilanjutkan pada tahun 1990 tanpa prasangka terhadap klaim kedaulatan baik. Kedua negara mendirikan Komisi Perikanan Atlantik Selatan untuk melestarikan/menjaga stok ikan dan juga Komisi Atlantik Hidrokarbon untuk mempromosikan pengembangan minyak dan gas, pada tahun 1994 Majelis Konstituante Argentina menyetujui ketentuan dalam konstitusi baru mengesahkan klaim kedaulatan atas Malvinas
0 komentar :
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Sesuai Dengan Topik, Jangan Menggunakan Kata-Kata Kasar, Komentar Dengan Link Aktif Tidak Akan Dipublikasikan
ttd
Admin Blog