Pengembangan Berpikir Matematika Tingkat Lanjut Melalui Pembelajaran Matematika Realistik

Kata Kunci: Berpikir Matematika Lanjut, Pembelajaran Matematika Realistik

Pembelajaran matematika di sekolah pada umum menekankan aspek kognitif yang mengutamakan kemampuan menghitung dan aplikasi matematika. Sedangkan pendekatan pembelajaran tidak banyak melibatkan siswa, terutama dalam penemuan konsep-konsep matematika. Guru lebih banyak menggunakan buku teks sebagai sumber belajar. Pembelajaran seperti ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan yang ditetapkan kurikulum pendidikan matematika disekolah dasar dan menengah. Adapun tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui lat
ihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien dan efektif (Puskur, 2006). Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Soedjadi (2004) bahwa pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yang meliputi (1) tujuan yang bersifat formal, yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan pribadi anak dan (2) tujuan yang bersifat material yang memberi tekanan pada penerapan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika. Hal ini sesuai dengan tujuan umum pembelajaran matematika yang dirumuskan National Council of Teacher of Mathematics (2000) yaitu: (1) belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); (2) belajar untuk bernalar (mathematical reasoning); (3) belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); (4) belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); (5) pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics). Menurut Sumarmo (2005), kemampuan-kemampuan di atas disebut dengan daya matematik (mathematical power) atau keterampilan matematika (doing math). Keterampilan matematika (doing math) berkaitan dengan karakteristik matematika yang dapat digolongkan dalam berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi. Berpikir tingkat rendah termasuk kegiatan melaksanakan operasi hitung sederhana, menerapkan rumus matematika secara langsung, mengikuti prosedur  (algoritma) yang baku, sedangkan yang termasuk pada berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan memahami idea matematika secara lebih mendalam, mengamati data dan menggali idea yang tersirat, menyusun konjektur, analogi, dan generalisasi, menalar secara logik, menyelesaikan masalah (problem solving), berkomunikasi secara matematik, dan mengaitkan idea matematik dengan kegiatan intelektual lainnya.
Selain berpikir matematik tingkat rendah dan tinggi, siswa juga perlu dilatih berpikir tingkat lanjut, yaitu siswa dilatih dalam mengkontruksi dan membuat sendiri gambaran definisi matematika. Melalui mengkonstruksi dan menemukan definisi atau konsep dalam matematika diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan  matematika.
Untuk dapat menghantar siswa pada mencapaian tujuan pembelajaran matematika tersebut, maka pengelolaan atau pendekatan pembelajaran matematika yang dirancang guru menuju sasaran tuntutan kurikulum. Untuk itu guru perlu tahu berbagai pendekatan pembelajaran matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang dapat dimanfaatkan oleh guru matematika dalam rangka mengembangkan kemampuan siswa dalam mengkonstruksi dan penemuan konsep-konsep matematika adalah pendekatan pembelajaran matematika realistik (PMR). Hal ini dikarenakan dalam PMR  perlu memperhatikan  lima karakteristik  yaitu: (a) menggunakan masalah kontekstual; (b) menggunakan model; (c) menggunakan kontribusi dan produksi siswa; (d) interaktif; dan  (e) keterkaitan (intertwinment), (Gravemeijer, 1994).
Kelima karakteristik PMR itu dapat melatih dan mengembangkan kemampuan siswa dalam mengkonstruksi dan menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Dalam tulis ini, mencoba mengkajikan pengembangan kemampuan berpikir matematika tingkat lanjut melalui pembelajaran matematika realistik.

 Berpikir Matematika Tingkat Lanjut
Pada awal tahun 1980-an, untuk melengkapi penekanan psikologi pendidikan matematika sebelumnya pada berpikir matematika dasar, beberapa anggota Psychology of Mathematics Education  (PME), yang diketuai oleh Gontran Ervynck dan David Tall, menginginkan untuk memikirkan matematika di sekolah menuju matematika universitas dan dikaitkan dengan berpikir matematikawan” (David Tall, Personal Communications). Hasilnya adalah formasi atau bentuk berpikir matematika lanjut (Advance Mathematical Thinking/AMT) yang mulai tahun 1986 menyusun buku dengan nama yang sama (Tall, 1991). Jadi, dalam PME, adalah sangat jelas dari permulaan bahwa jangkauan sepenuhnya dari berpikir matematika lanjut dari tahun terakhir sekolah menengah pertama melalui matematika aksiomatik formal yang didasarkan pada definisi dan bukti seharusnya disertakan dalam istilah atau konteks AMT.
Secara terpisah, di tempat berbeda, pengertian frase mathematical thinking (berpikir matematika) diperdebatkan, apakah istilah “lanjut” merujuk kepada matematika, atau berpikir, atau keduanya? Dalam buku ini, pengertian “lanjut” merujuk keduanya. Sebagaimana para ahli psikologi telah memikirkan kembali sifat dan perkembangan konsep di akhir tahun 1970 dan awal tahun 1980, beberapa anggota PME mengubah perhatian mereka pada perbedaan bagaimana konsep matematika didefinisikan dan bagaimana mereka digunakan, khususnya oleh siswa yang lebih familiar dengan konsep sehari-hari. Vinner dan Hershkowitz (1980), dalam referensi Geometri, mengenalkan istilah definisi dan gambaran konsep (concept image), dalam upaya untuk membedakan antara formal konsep, definisi publik, dan struktur mental yang berkaitan yang memuat semua contoh-contoh, noncontoh, fakta, dan keterhubungan atau keterkaitan dengan struktur mental. Perbedaan ini secara lebih jauh dielaborasi oleh Tall dan Vinner (1981) pada topik limit dan kontinuitas.
Istilah gambaran konsep mendeskripsikan struktur kognitif total individu yang diasosiasikan dengan suatu konsep; yang meliputi semua gambaran mental, sifat, dan proses. Gambaran konsep seseorang dibangun bertahun-tahun melalui pengalaman, perubahan ketika bertemu dengan stimulus. Istilah definisi konsep, di sisi lain, merujuk pada bentuk kata yang digunakan untuk menspesifikasi konsep. Suatu definisi konsep dapat berbentuk personal atau formal. Banyak peneliti menginvestigasi konsepsi siswa pada diskusi mereka dalam konteks atau istilah perbedaan bayangan atau definisi konsep dan juga menggunakannya ketika mengkomunikasikan dengan guru matematika tingkat lanjut. Juga, seseorang secara normal membedakan antara suatu konsep, seperti fungsi, arti formalnya, definisi umum matematik, dan konsepsi individu, makna atau arti individual, dan pemahaman mental mengenai hal itu.
Gambaran konsep siswa meliputi, dan sering didasarkan pada pengetahuan mereka sebelumnya (pengetahuan awal mereka), yang diterima melalui pengalaman berbeda, termasuk pengalaman sehari-hari. Cornu (dalam Harel 2006) menyebutnya sebagai konsepsi spontanitas. Kecenderungan banyak siswa untuk membangkitkan atau memunculkan bayangan konsep mereka, daripada definisi konsep, ketika merespon berbagai tugas matematika tidak terlalu jelek; tentu saja dalam banyak situasi, hal ini menghendaki untuk memiliki dan membangun bayangan konsep.
Salah satu cara untuk memperkaya gambaran konsep siswa adalah dengan membantu mereka memperoleh kemampuan untuk memvisualisasikan konsep matematika. Dreyfus dan Eisenberg (Harel) menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai kesulitan ketika berhadapan dengan informasi visual yang disajikan dalam bentuk grafik. Kemudian, penelitian juga menunjukkan bahwa visualisasi dapat memfasilitasi pemahaman matematika Salah satu alasan bagi keengganan ini, Dreyfus dan Eisenberg, bahwa guru menyampaikan kepada siswa (secara implisit maupun eksplisit) kepercayaan bahwa penalaran visual bersifat inferior terhadap penalaran analitis. Ahli lain mempunyai simpulan serupa. Zazkis, Dubinsky, dan Dautermann (1996) mengindikasikan bahwa ”mungkin hal yang paling membahayakan, terhadap kesulitan siswa dalam memvisualisasikan adalah bahwa siswa telah menunjukkan kurangnya kemampuan untuk mengaitkan suatu diagram dengan representasi simboliknya’, suatu proses yang merupakan komponen utama dalam visualisasi.
Mengutip Freudenthal (1973, p 458), ia menciri dua jenis tentang pendefinisian (1)  Pendefinisian yang Deskriptif (a posteriori)  "uraikan secara singkat suatu yang diketahui  dengan memilih beberapa ciri karakteristik "Dalam hal ini, suatu konsep sudah dikenal karena sekali waktu dan hanyalah digambarkan setelah itu (2)  Pendefinisian yang bersifat konstruksi (berdasar prasangka) itu "model object baru ke luar dari mereka yang terbiasa." Pendefinisian yang bersifat konstruksi berlangsung ketika  "definisi yang diberi suatu konsep diubah melalui pengecualian, penyamarataan, spesialisasi, penggantian atau penambahan sifat kepada definisi sehingga suatu konsep baru dibangun di dalam proses. Dengan kata lain, suatu konsep yang baru didefinisikan  'menjadi ada' (Dc Villiers. 1998, p 250).
Keistimewaan dari definisi-definisi matematika bahwa nilai para ahli matematik dan yang telah digambarkan di dalam literatur riset pendidikan matematika termasuk bahwa mereka seharusnya (1)  Ada (misal, satu contoh perlu ada), (2) Noncontradictory (misal, secara internal konsisten), (3)  Yang terang (misal, menggambarkan suatu konsep yang unik), (4) Secara logika setara dengan definisi-definisi yang lain konsep yang sama, (5)  Hirarkis (misal., tergantung hanya di dasar atau sebelumnya menggambarkan terminologi),  dan (6) invarian di bawah perubahan-perubahan penyajian, (7) Tunjukkan tujuan di mana mereka  ditemukan, (8) Dirumuskan dengan baik,  dan (9) Dinyatakan di suatu wujud yang dapat dipakai. Yang lain, tidak seragam yang disetujui. pertimbangan-pertimbangan termasuk bahwa definisi-definisi seharusnya (10)  Minimal (misal., hemat, tanpa adanya kondisi-kondisi yang berlebih-lebihan), (11)  Rapi (suatu susah untuk mengartikulasikan dan ukuran subjektif),  dan (12) dengan mudah dipahami oleh para siswa (suatu pertimbangan yang bersifat pendidikan).
Banyak para siswa di sekolah menengah dan level lebih dari sekolah menengah memberikan  argumentasi-argumentasi  oleh bukti intuitif atau empiris dibanding oleh pertimbangan dengan  logis. Bahkan para siswa matematika universitas tahun pertama secara umum merasa lebih nyaman ketika mereka diizinkan untuk menilai argumentasi-argumentasi dengan pengalaman atau dengan tidak sengaja dibanding secara deduktif ( Finlow -Marah,  Lerman & Morgan, 1993) Sebagaimana biasanya sulit karena para siswa untuk menghargai ketepatan dan ekonomi dari pemikiran yang diusahakan oleh bukti formal, ada kemungkinan bahwa mereka mengalami kesukaran yang serupa dengan  definisi-definisi matematik bersifat membangun atau deskriptif ketiadaan penghargaan seperti itu boleh menjelaskan berbagai kesulitan siswa di dalam membedakan antar aksioma-aksioma, definisi-definisi, dan dalil-dalil Vinner (1977) menemukan bahwa hanya sekitar separuh dari suatu kelompok
Sebagai tambahan terhadap pengetahuan tentang konstruksi konsep, apa yang para siswa memperoleh dari di atas untuk mendekati sampai konstruksi definisi (Asghari, 2004, Asghari &Tall. 2005, Ouvrier-Buffet, 2002, 2004), adalah pengalaman di dalam praktek matematik tentang definisi. Meski di sini kita sudah berkonsentrasi pada pendefinisian, ada praktek-praktek lain pada para ahli matematik yang sering dipertimbangkan dikedepankan visualisasi, representasi, menyamaratakan, meringkas, manyatukan, axiomatik, simbolisasi, algorithmatik, dan membuktikan.
            Sebagai tambahan terhadap membongkar dan mengerti definisi-definisi matematik formal dan menggunakan aktivitas penjelasan, ada cara lain belajar kenal suatu konsep, yakni, melalui membandingkan berbagai  definisi-definisi yang setara nya, melalui mengubah antara  nya (ganda) penyajian-penyajian (lihat Duval. 1999), melalui mengetahui sifat yang berbeda, dan melalui membuat koneksi-koneksi kepada konsep-konsep yang lain. Lebih lanjut, perorangan dapat mempunyai suatu operasional (proses) pandangan dari suatu konsep yang diberi atau satu yang struktural (obyek) pandangan konsep itu. Dengan pembentukan itu dimaksud sesuatu yang lebih banyak perhitungan dan segi pandangan prosedural, sedangkan oleh yang belakangan dimaksud sesuatu yang lebih formal, statis, dan seperti titik benda dari pandangan. Karena menjelaskan secara lengkap pandangan struktural operasional tersebut dari didapatnya konsep,  Sfard (1996) sudah mengamati bahwa  ini pandangan menjadi bagian dari suatu  teoritis yang lebih besar "kiasan didapatnya dan sudah membandingkan nya kepada  semakin terbaru "kiasan keikutsertaan", di mana ceramah, komunikasi, negosiasi, dan keikutsertaan di suatu masyarakat matematik bersifat dominan sebagai dia mengamati, kedua-duanya dapat berperan untuk pemahaman kita belajar dan mengajar.

 Aksi, Proses, Objek, dan Skema (APOS)
Teori APOS (dalam Arnawa (2006)) yang dikembangkan oleh Dubinsky dan koleganya merupakan hasil elaborasi dari abstraksi reflektif yang diperkenalkan oleh Piaget dalam menjelaskan perkembangan berpikir logis pada anak-anak. Dubinsky memperluas ide ini untuk menjelaskan perkembangan berpikir matematika tingkat tinggi pada mahasiswa (Dubinsky & Tall, 1991). Teori APOS mengasumsikan bahwa pengetahuan matematika yang dimiliki oleh seseorang merupakan hasil interaksi dengan orang lain dan hasil konstruksi-konstruksi mental orang tersebut dalam memahami ide-ide matematika. Konstruksi-konstruksi mental tersebut adalah: aksi (action), proses (process), objek (object), dan skema (schema) yang disingkat dengan APOS. Sering sejumlah konstruksi merupakan rekonstruksi dari sesuatu yang sudah ada, tetapi rekonstruksinya tidak persis sama seperti yang sudah ada sebelumnya. Istilah konstruksi dan rekonstruksi yang dimaksudkan di sini mirip dengan istilah akomodasi dan asimilasi dari Piaget (Asiala et al., 1997a). Teori APOS sangat baik digunakan untuk memahami pembelajaran mahasiswa dalam berbagai topik matematika di perguruan tinggi, seperti kalkulus, aljabar abstrak, statistik, matematika diskrit dan sebagainya (Dubinsky & McDonald, 2001).
Memahami konsep matematika dimulai dengan memanipulasi konstruksi mental yang sudah ada atau memanipulasi objek fisik untuk membentuk aksi,  aksi kemudian diinteriorisasi (direnungkan) untuk membentuk proses yang kemudian dienkapsulasi (dikristalkan) untuk membentuk objek. Objek dapat dideencapsulasi (diurai kembali) menjadi proses. Akhirnya, aksi, proses, dan objek dapat diorganisasi dalam skema.
Aksi adalah suatu transformasi yang dirasakan terjadi dalam  pikiran mahasiswa  sebagai akibat stimulus dari luar. Stimulus itu misalnya berupa melaksanakan tahapan-tahapan  instruksi untuk suatu operasi (Asiala et al., 1997a; Dubinsky & McDonald, 2001).
Ketika suatu aksi diulang-ulang dan siswa melakukan refleksi padanya, maka aksi diinteriorisasi menjadi proses, yaitu konstruksi internal yang dibuat dengan melakukan aksi yang sama tetapi sekarang tidak diarahkan oleh stimulus dari luar. Siswa yang sudah mengkonstruksi proses suatu konsep dapat menguraikan (de-encapsulation) atau bahkan membalikkan langkah-langkah dari transformasi (coordination reversal) tanpa benar-benar melakukannya (Asiala et al., 1997a; Dubinsky & McDonald, 2001). Berbeda dengan aksi, proses dirasakan oleh individu sebagai hal yang internal dan dibawah kontrol individu tersebut.

Objek dikonstruksi dari proses ketika mahasiswa berrefleksi pada operasi yang diterapkan pada proses untuk suatu konsep tertentu, menjadi sadar terhadap proses sebagai sebuah totalitas dan benar-benar dapat mengkonstruksi transformasi itu, maka mahasiswa tersebut meng-encapsulasi proses sebagai objek. Dalam kasus ini dikatakan bahwa proses telah di-encapsulasi menjadi objek (Asiala et al., 1997a; Dubinsky & McDonald, 2001).
Kumpulan dari aksi, proses, objek, dan skema lainnya yang terhubung secara padu dan diorganisasi secara terstruktur dalam pikiran mahasiswa disebut skema (Asiala et al., 1997a; Dubinsky & McDonald, 2001). Skema ini yang dapat diandalkan dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Perbedaan antara skema dengan konstruksi-konstruksi mental lainnya adalah seperti perbedaan dalam bidang biologi antara organ dengan sel. Keduanya adalah objek, tetapi organ (skema) memberikan keperluan-keperluan agar sel (objek, proses, aksi) berfungsi sebagaimana mestinya. Skema dari seorang mahasiswa adalah keseluruhan pengetahuan yang ia hubungkan secara sadar maupun tidak sadar dengan konsep matematika tertentu. Seorang individu dapat mempunyai skema untuk fungsi, skema untuk turunan, dan lain-lain. Skema sendiri dapat diperlakukan sebagai objek dan termuat dalam organisasi skema pada tingkatan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, fungsi-fungsi dapat dinyatakan sebagai himpunan, operasi pada himpunan tersebut dapat didefinisikan, dan sifat-sifat dari operasinya dapat diperiksa. Semua ini dapat diorganisasi untuk membentuk skema ruang fungsi yang kemudian dapat diterapkan pada konsep-konsep seperti ruang dual, ruang pemetaan linear, dan aljabar fungsi. Skema mirip dengan concept image yang diperkenalkan oleh Tall & Vinner (Dubinsky & McDonald, 2001). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengungkapkan skema seseorang tentang suatu konsep matematika, adalah dengan meminta seseorang tersebut menuliskan skema pemikirannya dalam bentuk peta konsep (Suparno,1997). 

5. Pembelajaran Matematika Realistik
Pendekatan matematika Realistik pertama kali dikembangkan oleh Institut Freudenthal di Negeri Belanda, berdasarkan pandangan Freudenthal. Ide utama dari pendekatan matematika realistik adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia nyata atau real world.  Proses pengembangan konsep  dan  ide-ide matematika yang dimulai  dari  dunia nyata oleh De Lange (1996) disebut matematisasi konsep dan memiliki model skematis proses belajar.
Berkaitan dengan proses pengembangan konsep matematika, menurut Gravemeijer (1994)  terdapat tiga prinsip utama dalam PMR
(a) Guided Reinvention and Progressive Mathematization (Penemuan terbimbing dan Bermatematika secara Progressif, (b) Didactical Phenomenology (Penomena Pembelajaran); (c) Self-developed Models (Pengembangan Model Mandiri).
Prinsip Penemuan terbimbing dimaksudkan, siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual yang sudah dikenal siswa. Bermatematika secara progressif dimaksudkan bermatematika secara horizontal dan vertikal. Matematika secara horizontal, siswa diharapkan mampu mengidentifikasi soal kontekstual sehingga dapat ditransfer ke dalam soal bentuk matematika berupa model, diagram, tabel (model informal) untuk lebih dipahami. Sedangkan matematika vertikal, siswa menyelesaikan  bentuk matematika formal atau non formal dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku.
Prinsip kedua, adanya penomena pembelajaran yang menekankan pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa dengan mempertimbangkan kecocokan aplikasi konteks dalam pembelajaran dan kecocokan dampak dalam proses penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal kontekstual tersebut.
Prinsip   ketiga,  pengembangan   model  mandiri   berfungsi  untuk   menjembatani antara pengetahuan matematika non formal dengan formal dari siswa. Model matematika dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri berdasarkan model-model matematika yang telah diketahui siswa. Di awali dengan soal kontekstual dari situasi nyata yang sudah dikenal siswa kemudian ditemukan model dari (model of) dari situasi tersebut (bentuk informal) dan kemudian diikuti dengan penemuan model untuk (model for) dari bentuk  tersebut (bentuk formal), hingga  mendapatkan penyelesaian masalah dalam bentuk pengetahuan matematika yang standar.
Sesuai dengan ketiga prinsip di atas, dalam proses pembelajaran matematika di kelas berdasarkan (PMR) perlu memperhatikan  lima karakteristik (Gravemeijer, 1994) yaitu: (a) menggunakan masalah kontekstual; (b) menggunakan model; (c) menggunakan kontribusi dan produksi siswa; (d) interaktif; (e) keterkaitan (intertwinment).
1. Menggunakan Masalah Kontekstual
Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik, guru harus memanfaatkan pengetahuan siswa sebagai jembatan untuk memahami konsep-konsep matematika melalui pemberian suatu masalah kontekstual. Siswa tidak belajar konsep matematika dengan cara langsung dari guru atau orang lain melalui penjelasan, tetapi membangun sendiri pemahaman konsep melalui sesuatu yang telah diketahui oleh siswa itu sendiri. Dengan kata lain masalah kontekstual diharapkan dapat menopang terlaksananya suatu proses penemuan kembali (reinvention) sehingga siswa secara formal dapat memahami konsep matematika. Oleh karena itu masalah kontekstual sebagai pembuka belajar yang harus diselesaikan siswa baik dengan cara atau prosedur informal maupun formal (proses matematisasi) haruslah nyata  atau dapat dibayangkan dan terjangkau oleh imajinasi siswa. Mengingat begitu pentingnya konteks dalam proses pembelajaran, maka seharusnyalah apabila seorang guru memahami dengan benar konsep tentang konteks maupun hal-hal yang terkait.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik, masalah kontekstual yang diajukan harus memperhatikan pengalaman awal siswa, mudah dibayangkan oleh siswa, sesuai dengan kesiapan siswa, dekat dengan kehidupan nyata siswa, serta yang tak kalah pentingnya dapat menjadi penghubung antara topik matematika yang dipelajari dengan lingkungan dan pengalaman siswa. Hal ini diharapkan dapat membantu siswa memahami makna dan kegunaan matematika serta memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan pemahaman terhadap matematika berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Sedangkan berdasarkan derajat tingkat realitasnya De Lange (Sabandar, 2001), membedakan konteks atas tiga jenis yaitu  (a) tidak ada konteks artinya tidak ada konteks yang nyata, tetapi yang ada semata-mata hanyalah soal matematika, tegasnya melulu konteks matematika saja, (b) konteks kamuflase berkaitan dengan konteks orde satu, disini konteks tidak relevan, cenderung merupakan soal matematika yang didandani agar tidak kelihatan melulu matematis, (c) konteks relevan dan esensial, membuat suatu kontribusi yang relevan dengan masalah.
2. Menggunakan Model
Ketika menghadapi permasalahan kontekstual, siswa akan menggunakan strategi pemecahan untuk mengubah permasalahan kontekstual menjadi permasalahan matematik, representasi inilah yang disebut sebagai pemodelan.
Dalam proses pemodelan, siswa diharapkan dapat menemukan hubungan antara bagian-bagian masalah kontekstual dan mentransfernya ke dalam model matematika melalui penskemaan, perumusan, serta pemvisualan. Pemodelan bisa berupa lambang-lambang matematik, skema, grafik, diagram, manipulasi aljabar, serta yang lain. Ini berarti, model berperan sebagai jembatan yang menghubungkan antara masalah kontekstual, matematika informal (matematisasi horizontal) dan matematika formal (matematisasi vertical). Hal ini sesuai dengan pendapat Gravemeijer (1994) yang menyatakan bahwa pemodelan merupakan jembatan untuk mengubah masalah kontekstual menjadi bentuk formal. Salah satu karakteristik pendekatan matematika realistik inilah yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kemampuan komunikasi matematik.
Dalam mengembangkan model, siswa memulai dengan cara mempormulasikan masalah kontekstual dalam bentuk informal, inilah yang disebut dengan model of. Selanjutnya melalui proses refleksi dan generalisasi siswa dikondisikan untuk mengarah ke model yang lebih umum yang disebut dengan model for. Sementara sesuai dengan pendapat De Lange (1996) peran guru dalam proses pembelajaran adalah membantu siswa untuk menemukan model-model (informal dan formal) dengan memberikan gambaran tentang berbagai kemungkinan model yang cocok untuk masalah kontekstual itu. 
Pada model kongkrit, model dibuat menyerupai keadaan sebenarnya, dan semua komponen yang terkait dalam soal kontekstual digambarkan, misalnya gambar buku, siswa, dan uang. Dengan kata lain gambar tersebut dapat memberikan kesan visual bahwa banyaknya buku akan dibagi kepada ketiga siswa, demikian juga dengan banyak uang. Sedangkan pada model diagram, model dibuat tidak persis dengan keadaan sebenarnya, misalnya buku digambarkan sebagai bulatan, segiempat atau bentuk lainnya.
3. Menggunakan Kontribusi dan Produksi Siswa
Kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa sendiri, dimana siswa dituntut untuk dapat memproduksi dan mengkonstruksi sendiri model secara bebas melalui bimbingan guru. Guru membimbing siswa sampai mampu merefleksi bagian-bagian penting dalam belajar yang akhirnya mampu mengkonstruksi model dari informal sampai ke bentuk formal.
Strategi-strategi informal siswa berupa skema, grafik, diagram, manipulasi aljabar, algoritma serta prosedur pemecahan masalah kontekstual sebagai sumber inspirasi dalam mengkonstruk pengetahuan matematika formal diharapkan dapat berkembang ke arah yang positif. Tanpa sikap yang positif terhadap matematika maka karakterisitk kontribusi dan produksi siswa sangat sulit untuk dapat dikembangkan, sebaliknya dengan siswa memiliki kontribusi dan produksi yang baik dalam proses pembelajaran sangat dimungkinkan akan menumbuhkan sikap yang lebih positif terhadap matematika.
4. Interaktif
Interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru maupun sebaliknya merupakan bagian penting dalam pendekatan matematika realistik. Bentuk interaksi yang terjadi dalam pembelajaran diantranya dapat berupa  negosiasi secara eksplisit, inttervensi kooperatif, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi dan evaluasi sesama siswa dan guru.
Bentuk interaksi ini digunakan siswa untuk memperbaiki atau memperbaharui model-model yang dikonstruksi sehingga diperoleh model yang tepat. Sedangkan guru menggunakannya untuk menuntun dan membimbing siswa sehingga sampai memahami konsep matematika formal. Interaksi sebagai salah satu karakteristik pendekatan matematika realistik sangat memungkinkan siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematik. Sejauh mana interaksi ini terjadi akan tergambar melalui observasi pembelajaran, yang dipandang sebagai alat untuk memotret kejadian pembelajaran di kelas.
5. Keterkaitan (Intertwinment)

            Keterkaitan adalah karakteristik lain dalam pembelajaran matematika realistik. Konsep yang dipelajari siswa dengan prinsip-prinsip belajar-mengajar matematika realistik harus merupakan jalinan dengan konsep atau materi lain baik dalam matematika itu sendiri maupun dengan yang lain, sehingga matematika bukanlah suatu pengetahuan yang bercerai berai melainkan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang utuh dan terpadu. Hal ini dimaksudkan agar proses pemahaman siswa terhadap konsep dapat dilakukan secara bermakna dan holistik.

0 komentar :

Post a Comment

Silahkan Berkomentar Sesuai Dengan Topik, Jangan Menggunakan Kata-Kata Kasar, Komentar Dengan Link Aktif Tidak Akan Dipublikasikan

ttd

Admin Blog