Kasus Pelanggaran HAM, Permasalahan Otonomi Daerah
Kasus Pelanggaran HAM
Proses penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Kasus Talangsari 1989, telah selesai. Kasus dugaan pelanggaran HAM ini selanjutnya tinggal di Kejaksaan Agung (Kejakgung).
Hal tersebut diungkapkan Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, seusai menandatangi kesepahaman Komnas HAM dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, di Kantor Gubernur Lampung, Selasa (26/10). “Penyelidikan kasus Talangsari sudah selesai,” katanya.
Penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat ini, sudah berlangsung sejak tahun 2005. Hasil penyelidikan tersebut, kata dia, Komnas HAM merekomendasikan ke Kejakgung, karena diduga terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus pembataian di sana.
Peristiwa yang dikenal Talangsari, terjadi pada Selasa 7 Februari 1989. Saat itu, terjadi penyerbuan oleh aparat keamanan ke pondok pengajian di Desa Talangsari III, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Akibat penyerbuan dengan senjata api tersebut, sedikitnya 246 korban meninggal dunia. Puluhan warga, korban penyerbuan dipenjara. Tindakan ini, dilakukan secara hukum maupun tanpa proses hukum.
Ifdhal mengatakan, dugaan kasus pelanggaran HAM berat Talangsari itu, harus ada tindaklanjut agar semua pihak terutama keluarga korban mendapat perlakuan hukum yang sama. Komnas HAM terus mendorong kasus itu diproses secara hukum. Pihaknya juga sudah melakukan dialog dengan pihak Kejakgung dan Komisi III DPR RI. Namun, hasil pertemuan dengan Kejagung maupun wakil rakyat itu belum menemukan titik temu untuk menyelesaikan kasus HAM Talangsari.
Dalam penjelasannya, untuk memproses kasus Talangsari itu, Kejakgung meminta lebih dulu Pengadilan HAM adhoc, sehingga setelah hasil penyidikan dapat langsung disidangkan di pengadilan tersebut. Sementara itu, pembentukan pengadilan
HAM adhoc sendiri tergantung rekomendasi DPR RI. Ia menyebutkan masih ada nuansa politik dalam penyelesaian kasus HAM Talangsari tersebut. Tetapi, Komnas HAM menyatakan masih ada jalan keluar penyelesaian kasus itu untuk diproses lebih lanjut.
Permasalahan Otonomi Daerah
Memang pada dasarnya otonomi daerah bukan lagi kata baru yang asing di telinga kita. Terhitung kurang lebih satu dekade prakarsa otonomi daerah ini diimplementasikan melalui UU No 22 tahun 1999. Pada masa rezim orde baru pemerintah pusat mempunyai peran yang besar dalam pembangunan, baik itu ditingkat pusat maupun daerah, sehingga yang terjadi adalah terjadinya diskriminasi antar daerah, karena pemerintah pusat mempunyai porsi yang besar untuk mendapatkan alokasi dana yang lebih besar sehingga ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah begitu jelas sekali. Atas dasar itulah, Ryaas Rasyid memprakarsai otonomi daerah di Indonesia. Ide utama otonomi daerah menurut arsiteknya, Ryaas Rasyid, daerah harus kreatif dalam menangani sumber daya yang dimilikinya.
Dengan kreativitas, Ryaas pernah mengemukakan, daerah kering seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur bukan tidak mungkin akan mengungguli Provinsi Riau. Secara tidak langsung, otonomi daerah bisa menjadi salah satu alat mengatasi krisis (Agus Hermawan Kompas, 16 Agustus 2007). Namun kurang lebih satu dekade, otonomi daerah ternyata hanya menghasilkan elitisme. Otonomi daerah gagal membangun akuntabilitas keterwakilan dan mandatnya, baik dalam hubungan pusat daerah maupun pengelolaan daerah.
Terjadi perubahan konteks, tetapi ada kesinambungan perilaku. Ada perubahan prosedural, tetapi terjadi kesinambungan substansi. Ada perubahan rezim, tetapi terjadi kesinambungan elite. Ide-ide desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya bukan hal baru karena sudah pernah muncul di era kolonialisme hingga awal kemerdekaan. Namun, sekarang hampir semua kalangan mengatakan, desentralisasi dan otonomi daerah baru muncul 2001. Akibatnya, pemerintah pusat maupun daerah sama-sama belum siap untuk berdesentralisasi dan berotonomi daerah. Pemerintah pusat belum siap melepas kewenangannya di daerah, sementara pemerintah daerah belum bisa melaksanakan kewenangan luas yang diberikan kepadanya. Kita terjebak dalam "otonomi setengah hati" dan (sebaliknya) "otonomi kebablasan."
Ada sebuah fakta unik yang terjadi pada era otonomi saat ini, dimana selama kurun waktu dua tahun, eforia pemekaran terus meningkat tajam. Hal ini dapat dilihat dari tiga pintu usulan pemekaran yaitu Depdagri, DPR, dan DPD, terus dibanjiri usulan pemekaran. Tahun 2006 saja, Depdagri menerima hampir 90 usulan pemekaran kabupaten/kota dan 21 usulan pemekaran provinsi. Usulan itu mulai dari yang hanya aspirasi masyarakat hingga yang sudah memenuhi syarat administratif. Begitu pula DPD menerima sekitar 50 usulan pemekaran kabupaten/kota dan 1 provinsi. Di sisi lain, DPR menerima lebih sedikit, 39 usulan pemekaran kabupaten/kota. Usulan itu terus bertambah pada tahun 2007. Tarik ulur terus terjadi antara pemerintah dan DPR saat membahas puluhan usulan calon daerah baru di kurun waktu 2005- 2007. Selama dua tahun itu, pemerintah telah menyepakati pembentukan 31 daerah baru.
Berdasarkan data dari hasil evaluasi departemen dalam negeri menunjukan bahwasanya 83% (dari 148 daerah pemekaran hingga akhir 2006) daerah pemekaran masih sangat bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) , oleh karena itu usulan pemekaran daerah yang masuk pada saat ini dipertimbangkan matang-matang oleh pemerintah pusat. Mengapa demikian? Sedikitnya ada tiga permasalahan dasar yang mengakibatkan otonomi daerah tidak mampu menhadirkan otonom yang sebenarnya bagi daerah-daerah otonom, yaitu: Pertama, otonomi setengah hati, pemerintah pusat melalui UU No 32 tahun 2004 telah menjelaskan secara gamblang mengenai implementasi dari otonomi daerah, namun sayangnya pemberian otonomi daerah ternyata masih bersifat setengah hati. Intervensi yang begitu besar oleh pemerintah pusat secara tak langsung menandakan pemerintah pusat memberikan otonomi yang terbatas (setengah hati) bagi daerah-daerah di Indonesia sehingga terkesan masih seperti dulu yaitu pada saat pada masa sebelum desentralisasi. Tentunya ini sangat mempengaruhi perkembangan daerah-daerah otonom di Indonesia
Kedua, rekrutmen parpol, partai politik mempunyai peran strategis untuk menhadirkan para calon-calon wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah, namun sayangnya fungsi kaderisasi dalam partai politik tidak berjalan pada semestinya, sehingga tidak heran, tidak sedikit para calon kepala daerah yang tidak tahu dari mana asalnya tiba-tiba mendekati pencalonan pilkada, mereka bergabung dengan salah satu parpol yang dianggap mempunyai kader dan simpatisan yang potensial untuk memenangkan pilkada dengan membayar sejumlah uang agar bisa menggunakan perahu parpol tersebut untuk melenggang menjadi orang nomor satu di daerah tersebut. Proses yang seperti inilah yang cendrung berpotensi dapat meninmbulkan korup karena sibuk untuk mengembalikan modal pada saat pencalonan. Ketiga, lemahnya partisipasi publik dalam pemerintahan lokal. Mengadopsi istilah Osborne dan Gaebler (dalam Sumarto, Hetifah Sj, 2004: 9) yaitu “steering”, ketimbang “rowing”, dan “enabling” ketimbang “providing”. Pemerintah tidak perlu melakukan semuanya sendiri, tetapi lebih kepada memfasilitasi dan mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, partisipasi publik menjadi satu kekuatan utama didalam pemerintahan karena masyarakat adalah penentu atau subjek dari pembangunan. Publik dapat menjadi presser group yang kuat untuk mengontrol pemerintahan daerah agar dapat menjalankan amanah sebaik mungkin. Pada dasarnya permasalahan dalam otonomi daerah di negara kita adalah sangat complicated, sehingga dibutuhkan keseriusan oleh semua kalangan baik pemerintah, stakeholder, dan juga swasta untuk menyelesaikan permasalahan dalam otonomi daerah yang sampai pada saat ini masih sangat sedikit sekali daerah yang benar-benar menjadi mandiri (otonom). Banyaknya daerah yang menjadi daerah yang tertinggal pasca pemekaran, tentunya harus menjadi pelajaran bagi daerah lainnya untuk menimbang kembali dalam melakukan pemekaran. Tentunya kita semua menginginkan setiap daerah yang melakukan pemekaran nantinya menjadi daerah yang maju, sehingga berdampak pula pada majunya negara kita
Permasalahan Pokok Otonomi Daerah:
1. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap
2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai dan penyesuaian peraturan perundangan-undangan yang ada dengan UU 22/ 1999 masih sangat terbatas
3. Sosialisasi UU 22/1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan meluas
4. Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemah
5. Pengaruh perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah dikelola
6. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
7. Belum jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsepotonomi yang proporsional kedalam pengaturan konsepotonomi yang proporsional ke dalampengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka NKRI
Permasalahan pokok tersebut terefleksi dalam 7 elemen pokok yang membentuk pemerintah daerah yaitu;
1. kewenangan,
2. kelembagaan,
3. kepegawaian,
4. keuangan,
5. perwakilan,
6. manajemen pelayanan publik, dan
7. pengaasan.
Kasus Status Kewarganegaraan Anak Dalam perkawinan Campuran
Kemerdekaan kini punya makna baru bagi anak-anak hasil perkawinan campur. Bukan hanya merdeka sebagai warga negara, tapi mereka juga bebas untuk berdekatan dengan sang bunda, tanpa perlu secarik kertas sebagai bukti legalitasnya.
Tanggal 11 Juli lalu mungkin merupakan moment yang sangat penting bagi wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing, dengan disahkannya UU Kewarganegaraan yang baru oleh DPR, menggantikan UU Kewarganegaraan no. 62 tahun 1958. Para wanita Indonesia pelaku pernikahan campur, yang saat itu berada di Gedung DPR untuk menyaksikan pengesahan itu pun langsung menyambutnya dengan gegap gempita.
Bagaimana tidak? Setelah lebih dari 47 tahun wanita pelaku pernikahan campuran bersama anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu terikat dalam berbagai peraturan yang ironis, kini akhirnya mereka bisa bernafas lega. Mereka tidak lagi dianggap sebagai kaum minoritas yang selalu ’tertindas’ dan tidak punya kekuatan hukum di negeri sendiri. Beban dan tekanan psikologis, yang harus mereka tanggung bertahun-tahun dan telah menelan banyak korban, pun kini sedikit bisa terangkat.
Seperti yang diketahui, bahwa dibawah UU Kewarganegaraan yang lama, para wanita pelaku perkawinan campuran, dan anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu, memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan posisi dari segi hukum, baik dari bidang hukum, sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini jelas saja merupakan permasalahan tersendiri, dimana kebebasan seseorang untuk memiliki hak untuk mementukan piluhan kewargaganegaraan menjadi terkotak-kotak lantaran pembatasan dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Rumitnya Birokrasi Keimigrasian
Menumpuknya permasalahan kaum wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing akhirnya mencetus berdirinya wadah Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC Melati). Diprakarsai oleh Ika Twigley, Diah Kusdinar, Marcellina Tanuhandaru, Mery Girsang dan Enggi Holt.
Masalah yang begitu pelik mulai dari kewarganegaraan anak, hak asuh anak, rumitnya birokrasi keimigrasian, soal administrasi kependudukan, keharusan berurusan dengan kedutaan asing, perihal peraturan Depnaker, ketiadaan perjanjian pranikah, terbatasnya akses terhadap fasilitas keuangan, hukum pewarisan terhadap properti, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Karena banyak petugas yang tak paham, itu tak heran, saat ada wanita yang menghadapi masalah sering pergi minta bantuan ke sana ke mari tanpa mendapatkan jalan keluar yang memuaskan.
Sebenarnya akar permasalahan perkawinan campuran di Indonesia ada pada UU Kewarganegaraan No 62 tahun 1958. Undang-undang itu menggariskan bahwa Indonesia menganut asas ius sanguinis patriarkal. Artinya, anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dan ayah WNA otomatis mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Sementara itu, status kewarganegaraan anak WNA untuk menjadi WNI hanya bisa setelah si anak berusia 18 tahun. Sehingga jika setiap tahunnya keluarga kawin campuran itu menetap di Indonesia, bahkan anak-anak hasil perkawinan tersebut tiap tahunnya harus memperpanjang KITAS (Kartu Ijin Tinggal Sementara, red) dan berurusan dengan pihak imigrasi. Jika tidak akan terkena sanksi overstay, status penduduk gelap, dan akan kena deportasi.
Malah untuk mengurus KITAS-pun tidak ada biaya yang transparan sehingga tak jarang menjadi ‘akal-akalan’ oknum Imigrasi. Selain itu wanita WNI tak bisa mensponsori izin tinggal suami WNA dan anak WNA-nya yang sudah berusia dewasa.
Peliknya permasalahan yang menyangkut tentang kepastian kewarganegaraan ini juga dialaku ole Auk Murat, seorang mantan model yang juga salah satu wanita Indonesia pelaku perkawinan campuran dengan seorang pria Australia. Dikatakannya UU kewarganegaraan lama memiliki beberapa kelemahan yang efeknya sangat memberatkan para wanita pelaku perkawinan campuran bersama anak-anaknya.
Menurutnya wanita Indonesia tidak memiliki persamaan hukum dengan wanita Indonesia lain yang menikah dengan sesama WNI, hak asasi mereka untuk bisa memberikan kewarganegaraan mereka kepada anaknya tidak bisa dilakukan, adanya penyelewengan terhadap hak asasi sang anak yang tidak sesuai dengan sandaran hukum yang sesuai UU lama. Selain itu, wanita Indonesia juga akan kehilangan kewarganegaraannya jika menikah dengan pria dari negara-negara yang mewajibkan kewarganegaraan yang sama, seperti Bhutan, Taiwan, Iran dan Zimbabwe.
Kelemahan-kelemahan ini mengakibatkan banyak sekali kerugian yang harus ditanggung para wanita itu bersama anak-anaknya. Bila dari strata ekonominya kurang baik, maka mereka akan mengalami banyak kesulitan dalam hal kepengurusan sang anak, seperti ijin tinggal, pembiayaan sekolah, dan lain-lainnya.
Jika mereka tidak paham hukum dan pernikahan itu terputus di tengah jalan, maka bisa saja mantan suaminya memanfaatkan hal ini untuk mengambil hak asuh anak-anaknya (karena sang anak sejak lahir secara otomatis sudah mengikuti kewarganegaraan ayah/asas patriakal). ”Ironis sekali khan kalau seorang ibu ingin berdekatan dengan anaknya saja harus dilegalkan oleh secarik kertas. Banyak kan! kita dengar kisah para wanita korban dari peraturan ini,” ujar mantan model bernama asli Sasanti Paramita ini.
”Itu belum termasuk berbagai beban dan tekanan psikologis yang harus mereka hadapi setiap harinya, mengingat beberapa pria asing banyak yang berusaha mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari perkawinannya dengan wanita Indonesia. Bukan berarti semua pria asing begitu, tapi kalau negara tidak bisa memberikan kekuatan hukum kepada wanita pelaku perkawinan campuran seperti itu, maka para wanita ini akan selalu jadi korban yang tertindas, yang ironisnya padahal mereka tinggal di negara sendiri. Bagaimana kalau tinggal di negara suaminya? Mereka akan dianggap imigran gelap karena status kewarganegaraannya tidak jelas. Untuk mendapatkan Permanen Resident itu tidak mudah lho, paling tidak kita harus menunggu selama bertahun-tahun. Dan selama itu, kita rentan terhadap berbagai pelecehan dan perlakuan yang dianggap melanggar hukum negara setempat. Contoh kasus dan korbannya juga sudah banyak,” tandas wanita kelahiran 26 Juni 1970 ini.
Sulit Jadi WNI
Menyinggung tentang kemerdekaan hak asuh anak juga diutarakan oleh Etta Herawati atau biasa dikenal dengan Bertha. Ibu dari Jasmine McCarthy ini juga ikut curhat lantaran mulai dari proses pernikahan dengan Michael McCarthy JR (38) pada tanggal 29 Agustus 2001 silam permasalahan tentang kewarganegaraan selalu saja muncul. ”Saya ingat waktu mau menikah 5 tahun lalu, kami harus mengurusi beberapa surat yang menurut saya tidak terlalu sulit untuk diurus. Belum lagi dengan sikap dari pejabat pemerintahan yang berwenang yang dengan sengaja menyulitkan kami untuk mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan,” ujar guru vokal dari banyak selebritis ini.
Pengalaman yang tidak mengenakkan ini jelas saja mengganggu pribadinya, meskipun untuk memutuskan menikah dengan pria asing sudah ia pikirkan sebelumnya segala sebab dan akibat yang akan muncul. Bahkan setelah Jasmine lahir pada tanggal 23 Mei 2003 langsung dibuatkan akte, tapi nyatanya ia harus melaporkan juga ke imigrasi lantaran salah satu orang tuanya berbeda kebangsaan karena selama 8 bulan sejak kelahirannya Berta dan Michael belum melaporkan ke Imigrasi. ”Pada saat itu salah satu pegawai Imigrasi bilang karena keterlambatan selama 8 bulan saya dikenakan denda sebesar 85 Dollar. Tapi pegawai lainnya ada yang bilang hanya membayar 75 sampai 100 Dollar sampai surat perijinan selesai. Dengan begitu saya berpikir berapa yang musti saya bayar untuk menebus keterlambatan pengurusan ini. Tapi akhirnya saya hanya membayar 30 juta pada pihak Imigrasi. Ternyata susah juga ya jadi WNI,” papar Bertha.
Setelah mendapatkan KITAS dari Imigrasi, akhirnya anak semata wayangnya ini tidak dapat bernapas lega, lantaran surat penting kewarganegaraan sementara sudah di tangan. Hanya saja setiap tahunnya Bertha harus melaporkan dan memperpanjang KITAS selama setahun kedepan.
Karena itu, sejak tahun 2000, sekelompok wanita pelaku perkawinan campuran yang tergabung dalam KPC Melati, sudah mulai memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Ketika 1 Februari lalu Panitia Khusus (pansus) Rancangan UU Kewarganegaraan RI dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia secara bulat telah menyetujui prinsip kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak-anak hasil perkawinan campuran yang sah dan resmi, mereka semakin giat memperjuangkan hak anak-anak bangsa. Dan akhirnya, perjuangan panjang mereka pun sudah membuahkan hasil yang cukup manis. RUU itu akhirnya disetujui menjadi UU Kewarganegaraan yang baru.
Mendapat Angin Segar
”Di bawah UU yang baru, anak-anak hasil perkawinan campur memiliki dua kewarganegaraan sampai mereka berusia 18 tahun plus 3 tahun. Bagitu juga dengan para ibunya, yang boleh memilih kewarganegaraan yang diainginkannya, kecuali untuk empat negara seperti Bhutan, Taiwan, Iran dan Zimbabwe. Kecuali Bhutan yang memang mutlak, ketiga negara itu memberikan kesempatan selama tiga tahun bagi para wanita yang menikah dengan pria warga negaranya untuk mengikuti suaminya. Jadi, sekarang anak-anak bisa bersama ibunya tanpa harus mengurus berbagai surat perijinan, dan sang ibu sudah punya kekuatan hukum untuk melindungi anak-anak mereka. Diharapkan dengan adanya UU yang baru ini, bisa diminimalisir deh, korban-korbannya,” harap ibu dua putri, Nicola Ananda dan Tatiana Ananda, ini.
Auk sendiri mengaku bahwa sebenarnya mereka tidak mengalami banyak kesulitan selama ini dalam hal anak dan status dirinya sebagai warga negara karena sejak awal menikah dengan pria asing, ia sudah mengetahui hukum dan hak-haknya sebagai wanita Indonesia. Sebagai langkah antisipasi terhadap berbagai masalah yang mungkin saja timbul dalam perkawinannya kelak, ia dan mantan suaminya juga membuat perjanjian pra-nikah (prenuptial agreement).
”Saat itu saya sih merasa sepertinya kurang romantis atau terkesan materialistis. Tapi, mau tidak mau hal itu harus dilakukan, untuk menghindari masalah yang berhubungan dengan hal yang sensitif seperti uang dan masalah kepemilikan properti. Dan ternyata, hal itu terbukti. Meskipun sudah bercerai tapi saya tidak mengalami kesulitan karena sejak awal semuanya sudah ada aturannya,” ujarnya panjang lebar. ”Tapi sebagai rasa solidaritas saya terhadap teman-teman yang juga seperti saya, maka saya ikut berjuang keras meng-gol-kan UU Kewarganegaraan yang baru. Saya yakin, apa yang bermanfaat bagi saya, pasti juga akan bermanfaat bagi orang lain. Semoga saja,” harapnya santai.
Kini setelah disyahkannya UU Kewarganegaraan yang baru ini baik Auk maupun Bertha atau wanita yang melakukan pernikahan campuran dimanapun di Indonesia ini bisa bernafas lega, karena untuk kewarganegaraan setiap anak tidak perlu lagi mengurus ke instansi pemerintah seperti Imigrasi maupun instansi lainnya. Arti kata, dengan terbitnya surat keputusan ini maka kehidupan anak hasil pernikahan campuran antara WNI dengan negara asing menjadi lebih terjamin statusnya hingga umur 18 tahun plus masa pemilihan keyakinan kewarganegaraan selama 3 tahun ke depan. ”Seperti mendapat angin segar dengan di syahkannya UU Kewarganegaraan yang baru ini,” ujar Bertha
Proses penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Kasus Talangsari 1989, telah selesai. Kasus dugaan pelanggaran HAM ini selanjutnya tinggal di Kejaksaan Agung (Kejakgung).
Hal tersebut diungkapkan Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, seusai menandatangi kesepahaman Komnas HAM dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, di Kantor Gubernur Lampung, Selasa (26/10). “Penyelidikan kasus Talangsari sudah selesai,” katanya.
Penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat ini, sudah berlangsung sejak tahun 2005. Hasil penyelidikan tersebut, kata dia, Komnas HAM merekomendasikan ke Kejakgung, karena diduga terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus pembataian di sana.
Peristiwa yang dikenal Talangsari, terjadi pada Selasa 7 Februari 1989. Saat itu, terjadi penyerbuan oleh aparat keamanan ke pondok pengajian di Desa Talangsari III, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Akibat penyerbuan dengan senjata api tersebut, sedikitnya 246 korban meninggal dunia. Puluhan warga, korban penyerbuan dipenjara. Tindakan ini, dilakukan secara hukum maupun tanpa proses hukum.
Ifdhal mengatakan, dugaan kasus pelanggaran HAM berat Talangsari itu, harus ada tindaklanjut agar semua pihak terutama keluarga korban mendapat perlakuan hukum yang sama. Komnas HAM terus mendorong kasus itu diproses secara hukum. Pihaknya juga sudah melakukan dialog dengan pihak Kejakgung dan Komisi III DPR RI. Namun, hasil pertemuan dengan Kejagung maupun wakil rakyat itu belum menemukan titik temu untuk menyelesaikan kasus HAM Talangsari.
Dalam penjelasannya, untuk memproses kasus Talangsari itu, Kejakgung meminta lebih dulu Pengadilan HAM adhoc, sehingga setelah hasil penyidikan dapat langsung disidangkan di pengadilan tersebut. Sementara itu, pembentukan pengadilan
HAM adhoc sendiri tergantung rekomendasi DPR RI. Ia menyebutkan masih ada nuansa politik dalam penyelesaian kasus HAM Talangsari tersebut. Tetapi, Komnas HAM menyatakan masih ada jalan keluar penyelesaian kasus itu untuk diproses lebih lanjut.
Permasalahan Otonomi Daerah
Memang pada dasarnya otonomi daerah bukan lagi kata baru yang asing di telinga kita. Terhitung kurang lebih satu dekade prakarsa otonomi daerah ini diimplementasikan melalui UU No 22 tahun 1999. Pada masa rezim orde baru pemerintah pusat mempunyai peran yang besar dalam pembangunan, baik itu ditingkat pusat maupun daerah, sehingga yang terjadi adalah terjadinya diskriminasi antar daerah, karena pemerintah pusat mempunyai porsi yang besar untuk mendapatkan alokasi dana yang lebih besar sehingga ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah begitu jelas sekali. Atas dasar itulah, Ryaas Rasyid memprakarsai otonomi daerah di Indonesia. Ide utama otonomi daerah menurut arsiteknya, Ryaas Rasyid, daerah harus kreatif dalam menangani sumber daya yang dimilikinya.
Dengan kreativitas, Ryaas pernah mengemukakan, daerah kering seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur bukan tidak mungkin akan mengungguli Provinsi Riau. Secara tidak langsung, otonomi daerah bisa menjadi salah satu alat mengatasi krisis (Agus Hermawan Kompas, 16 Agustus 2007). Namun kurang lebih satu dekade, otonomi daerah ternyata hanya menghasilkan elitisme. Otonomi daerah gagal membangun akuntabilitas keterwakilan dan mandatnya, baik dalam hubungan pusat daerah maupun pengelolaan daerah.
Terjadi perubahan konteks, tetapi ada kesinambungan perilaku. Ada perubahan prosedural, tetapi terjadi kesinambungan substansi. Ada perubahan rezim, tetapi terjadi kesinambungan elite. Ide-ide desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya bukan hal baru karena sudah pernah muncul di era kolonialisme hingga awal kemerdekaan. Namun, sekarang hampir semua kalangan mengatakan, desentralisasi dan otonomi daerah baru muncul 2001. Akibatnya, pemerintah pusat maupun daerah sama-sama belum siap untuk berdesentralisasi dan berotonomi daerah. Pemerintah pusat belum siap melepas kewenangannya di daerah, sementara pemerintah daerah belum bisa melaksanakan kewenangan luas yang diberikan kepadanya. Kita terjebak dalam "otonomi setengah hati" dan (sebaliknya) "otonomi kebablasan."
Ada sebuah fakta unik yang terjadi pada era otonomi saat ini, dimana selama kurun waktu dua tahun, eforia pemekaran terus meningkat tajam. Hal ini dapat dilihat dari tiga pintu usulan pemekaran yaitu Depdagri, DPR, dan DPD, terus dibanjiri usulan pemekaran. Tahun 2006 saja, Depdagri menerima hampir 90 usulan pemekaran kabupaten/kota dan 21 usulan pemekaran provinsi. Usulan itu mulai dari yang hanya aspirasi masyarakat hingga yang sudah memenuhi syarat administratif. Begitu pula DPD menerima sekitar 50 usulan pemekaran kabupaten/kota dan 1 provinsi. Di sisi lain, DPR menerima lebih sedikit, 39 usulan pemekaran kabupaten/kota. Usulan itu terus bertambah pada tahun 2007. Tarik ulur terus terjadi antara pemerintah dan DPR saat membahas puluhan usulan calon daerah baru di kurun waktu 2005- 2007. Selama dua tahun itu, pemerintah telah menyepakati pembentukan 31 daerah baru.
Berdasarkan data dari hasil evaluasi departemen dalam negeri menunjukan bahwasanya 83% (dari 148 daerah pemekaran hingga akhir 2006) daerah pemekaran masih sangat bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) , oleh karena itu usulan pemekaran daerah yang masuk pada saat ini dipertimbangkan matang-matang oleh pemerintah pusat. Mengapa demikian? Sedikitnya ada tiga permasalahan dasar yang mengakibatkan otonomi daerah tidak mampu menhadirkan otonom yang sebenarnya bagi daerah-daerah otonom, yaitu: Pertama, otonomi setengah hati, pemerintah pusat melalui UU No 32 tahun 2004 telah menjelaskan secara gamblang mengenai implementasi dari otonomi daerah, namun sayangnya pemberian otonomi daerah ternyata masih bersifat setengah hati. Intervensi yang begitu besar oleh pemerintah pusat secara tak langsung menandakan pemerintah pusat memberikan otonomi yang terbatas (setengah hati) bagi daerah-daerah di Indonesia sehingga terkesan masih seperti dulu yaitu pada saat pada masa sebelum desentralisasi. Tentunya ini sangat mempengaruhi perkembangan daerah-daerah otonom di Indonesia
Kedua, rekrutmen parpol, partai politik mempunyai peran strategis untuk menhadirkan para calon-calon wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah, namun sayangnya fungsi kaderisasi dalam partai politik tidak berjalan pada semestinya, sehingga tidak heran, tidak sedikit para calon kepala daerah yang tidak tahu dari mana asalnya tiba-tiba mendekati pencalonan pilkada, mereka bergabung dengan salah satu parpol yang dianggap mempunyai kader dan simpatisan yang potensial untuk memenangkan pilkada dengan membayar sejumlah uang agar bisa menggunakan perahu parpol tersebut untuk melenggang menjadi orang nomor satu di daerah tersebut. Proses yang seperti inilah yang cendrung berpotensi dapat meninmbulkan korup karena sibuk untuk mengembalikan modal pada saat pencalonan. Ketiga, lemahnya partisipasi publik dalam pemerintahan lokal. Mengadopsi istilah Osborne dan Gaebler (dalam Sumarto, Hetifah Sj, 2004: 9) yaitu “steering”, ketimbang “rowing”, dan “enabling” ketimbang “providing”. Pemerintah tidak perlu melakukan semuanya sendiri, tetapi lebih kepada memfasilitasi dan mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, partisipasi publik menjadi satu kekuatan utama didalam pemerintahan karena masyarakat adalah penentu atau subjek dari pembangunan. Publik dapat menjadi presser group yang kuat untuk mengontrol pemerintahan daerah agar dapat menjalankan amanah sebaik mungkin. Pada dasarnya permasalahan dalam otonomi daerah di negara kita adalah sangat complicated, sehingga dibutuhkan keseriusan oleh semua kalangan baik pemerintah, stakeholder, dan juga swasta untuk menyelesaikan permasalahan dalam otonomi daerah yang sampai pada saat ini masih sangat sedikit sekali daerah yang benar-benar menjadi mandiri (otonom). Banyaknya daerah yang menjadi daerah yang tertinggal pasca pemekaran, tentunya harus menjadi pelajaran bagi daerah lainnya untuk menimbang kembali dalam melakukan pemekaran. Tentunya kita semua menginginkan setiap daerah yang melakukan pemekaran nantinya menjadi daerah yang maju, sehingga berdampak pula pada majunya negara kita
Permasalahan Pokok Otonomi Daerah:
1. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap
2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai dan penyesuaian peraturan perundangan-undangan yang ada dengan UU 22/ 1999 masih sangat terbatas
3. Sosialisasi UU 22/1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan meluas
4. Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemah
5. Pengaruh perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah dikelola
6. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
7. Belum jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsepotonomi yang proporsional kedalam pengaturan konsepotonomi yang proporsional ke dalampengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka NKRI
Permasalahan pokok tersebut terefleksi dalam 7 elemen pokok yang membentuk pemerintah daerah yaitu;
1. kewenangan,
2. kelembagaan,
3. kepegawaian,
4. keuangan,
5. perwakilan,
6. manajemen pelayanan publik, dan
7. pengaasan.
Kasus Status Kewarganegaraan Anak Dalam perkawinan Campuran
Kemerdekaan kini punya makna baru bagi anak-anak hasil perkawinan campur. Bukan hanya merdeka sebagai warga negara, tapi mereka juga bebas untuk berdekatan dengan sang bunda, tanpa perlu secarik kertas sebagai bukti legalitasnya.
Tanggal 11 Juli lalu mungkin merupakan moment yang sangat penting bagi wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing, dengan disahkannya UU Kewarganegaraan yang baru oleh DPR, menggantikan UU Kewarganegaraan no. 62 tahun 1958. Para wanita Indonesia pelaku pernikahan campur, yang saat itu berada di Gedung DPR untuk menyaksikan pengesahan itu pun langsung menyambutnya dengan gegap gempita.
Bagaimana tidak? Setelah lebih dari 47 tahun wanita pelaku pernikahan campuran bersama anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu terikat dalam berbagai peraturan yang ironis, kini akhirnya mereka bisa bernafas lega. Mereka tidak lagi dianggap sebagai kaum minoritas yang selalu ’tertindas’ dan tidak punya kekuatan hukum di negeri sendiri. Beban dan tekanan psikologis, yang harus mereka tanggung bertahun-tahun dan telah menelan banyak korban, pun kini sedikit bisa terangkat.
Seperti yang diketahui, bahwa dibawah UU Kewarganegaraan yang lama, para wanita pelaku perkawinan campuran, dan anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu, memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan posisi dari segi hukum, baik dari bidang hukum, sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini jelas saja merupakan permasalahan tersendiri, dimana kebebasan seseorang untuk memiliki hak untuk mementukan piluhan kewargaganegaraan menjadi terkotak-kotak lantaran pembatasan dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Rumitnya Birokrasi Keimigrasian
Menumpuknya permasalahan kaum wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing akhirnya mencetus berdirinya wadah Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC Melati). Diprakarsai oleh Ika Twigley, Diah Kusdinar, Marcellina Tanuhandaru, Mery Girsang dan Enggi Holt.
Masalah yang begitu pelik mulai dari kewarganegaraan anak, hak asuh anak, rumitnya birokrasi keimigrasian, soal administrasi kependudukan, keharusan berurusan dengan kedutaan asing, perihal peraturan Depnaker, ketiadaan perjanjian pranikah, terbatasnya akses terhadap fasilitas keuangan, hukum pewarisan terhadap properti, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Karena banyak petugas yang tak paham, itu tak heran, saat ada wanita yang menghadapi masalah sering pergi minta bantuan ke sana ke mari tanpa mendapatkan jalan keluar yang memuaskan.
Sebenarnya akar permasalahan perkawinan campuran di Indonesia ada pada UU Kewarganegaraan No 62 tahun 1958. Undang-undang itu menggariskan bahwa Indonesia menganut asas ius sanguinis patriarkal. Artinya, anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dan ayah WNA otomatis mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Sementara itu, status kewarganegaraan anak WNA untuk menjadi WNI hanya bisa setelah si anak berusia 18 tahun. Sehingga jika setiap tahunnya keluarga kawin campuran itu menetap di Indonesia, bahkan anak-anak hasil perkawinan tersebut tiap tahunnya harus memperpanjang KITAS (Kartu Ijin Tinggal Sementara, red) dan berurusan dengan pihak imigrasi. Jika tidak akan terkena sanksi overstay, status penduduk gelap, dan akan kena deportasi.
Malah untuk mengurus KITAS-pun tidak ada biaya yang transparan sehingga tak jarang menjadi ‘akal-akalan’ oknum Imigrasi. Selain itu wanita WNI tak bisa mensponsori izin tinggal suami WNA dan anak WNA-nya yang sudah berusia dewasa.
Peliknya permasalahan yang menyangkut tentang kepastian kewarganegaraan ini juga dialaku ole Auk Murat, seorang mantan model yang juga salah satu wanita Indonesia pelaku perkawinan campuran dengan seorang pria Australia. Dikatakannya UU kewarganegaraan lama memiliki beberapa kelemahan yang efeknya sangat memberatkan para wanita pelaku perkawinan campuran bersama anak-anaknya.
Menurutnya wanita Indonesia tidak memiliki persamaan hukum dengan wanita Indonesia lain yang menikah dengan sesama WNI, hak asasi mereka untuk bisa memberikan kewarganegaraan mereka kepada anaknya tidak bisa dilakukan, adanya penyelewengan terhadap hak asasi sang anak yang tidak sesuai dengan sandaran hukum yang sesuai UU lama. Selain itu, wanita Indonesia juga akan kehilangan kewarganegaraannya jika menikah dengan pria dari negara-negara yang mewajibkan kewarganegaraan yang sama, seperti Bhutan, Taiwan, Iran dan Zimbabwe.
Kelemahan-kelemahan ini mengakibatkan banyak sekali kerugian yang harus ditanggung para wanita itu bersama anak-anaknya. Bila dari strata ekonominya kurang baik, maka mereka akan mengalami banyak kesulitan dalam hal kepengurusan sang anak, seperti ijin tinggal, pembiayaan sekolah, dan lain-lainnya.
Jika mereka tidak paham hukum dan pernikahan itu terputus di tengah jalan, maka bisa saja mantan suaminya memanfaatkan hal ini untuk mengambil hak asuh anak-anaknya (karena sang anak sejak lahir secara otomatis sudah mengikuti kewarganegaraan ayah/asas patriakal). ”Ironis sekali khan kalau seorang ibu ingin berdekatan dengan anaknya saja harus dilegalkan oleh secarik kertas. Banyak kan! kita dengar kisah para wanita korban dari peraturan ini,” ujar mantan model bernama asli Sasanti Paramita ini.
”Itu belum termasuk berbagai beban dan tekanan psikologis yang harus mereka hadapi setiap harinya, mengingat beberapa pria asing banyak yang berusaha mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari perkawinannya dengan wanita Indonesia. Bukan berarti semua pria asing begitu, tapi kalau negara tidak bisa memberikan kekuatan hukum kepada wanita pelaku perkawinan campuran seperti itu, maka para wanita ini akan selalu jadi korban yang tertindas, yang ironisnya padahal mereka tinggal di negara sendiri. Bagaimana kalau tinggal di negara suaminya? Mereka akan dianggap imigran gelap karena status kewarganegaraannya tidak jelas. Untuk mendapatkan Permanen Resident itu tidak mudah lho, paling tidak kita harus menunggu selama bertahun-tahun. Dan selama itu, kita rentan terhadap berbagai pelecehan dan perlakuan yang dianggap melanggar hukum negara setempat. Contoh kasus dan korbannya juga sudah banyak,” tandas wanita kelahiran 26 Juni 1970 ini.
Sulit Jadi WNI
Menyinggung tentang kemerdekaan hak asuh anak juga diutarakan oleh Etta Herawati atau biasa dikenal dengan Bertha. Ibu dari Jasmine McCarthy ini juga ikut curhat lantaran mulai dari proses pernikahan dengan Michael McCarthy JR (38) pada tanggal 29 Agustus 2001 silam permasalahan tentang kewarganegaraan selalu saja muncul. ”Saya ingat waktu mau menikah 5 tahun lalu, kami harus mengurusi beberapa surat yang menurut saya tidak terlalu sulit untuk diurus. Belum lagi dengan sikap dari pejabat pemerintahan yang berwenang yang dengan sengaja menyulitkan kami untuk mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan,” ujar guru vokal dari banyak selebritis ini.
Pengalaman yang tidak mengenakkan ini jelas saja mengganggu pribadinya, meskipun untuk memutuskan menikah dengan pria asing sudah ia pikirkan sebelumnya segala sebab dan akibat yang akan muncul. Bahkan setelah Jasmine lahir pada tanggal 23 Mei 2003 langsung dibuatkan akte, tapi nyatanya ia harus melaporkan juga ke imigrasi lantaran salah satu orang tuanya berbeda kebangsaan karena selama 8 bulan sejak kelahirannya Berta dan Michael belum melaporkan ke Imigrasi. ”Pada saat itu salah satu pegawai Imigrasi bilang karena keterlambatan selama 8 bulan saya dikenakan denda sebesar 85 Dollar. Tapi pegawai lainnya ada yang bilang hanya membayar 75 sampai 100 Dollar sampai surat perijinan selesai. Dengan begitu saya berpikir berapa yang musti saya bayar untuk menebus keterlambatan pengurusan ini. Tapi akhirnya saya hanya membayar 30 juta pada pihak Imigrasi. Ternyata susah juga ya jadi WNI,” papar Bertha.
Setelah mendapatkan KITAS dari Imigrasi, akhirnya anak semata wayangnya ini tidak dapat bernapas lega, lantaran surat penting kewarganegaraan sementara sudah di tangan. Hanya saja setiap tahunnya Bertha harus melaporkan dan memperpanjang KITAS selama setahun kedepan.
Karena itu, sejak tahun 2000, sekelompok wanita pelaku perkawinan campuran yang tergabung dalam KPC Melati, sudah mulai memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Ketika 1 Februari lalu Panitia Khusus (pansus) Rancangan UU Kewarganegaraan RI dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia secara bulat telah menyetujui prinsip kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak-anak hasil perkawinan campuran yang sah dan resmi, mereka semakin giat memperjuangkan hak anak-anak bangsa. Dan akhirnya, perjuangan panjang mereka pun sudah membuahkan hasil yang cukup manis. RUU itu akhirnya disetujui menjadi UU Kewarganegaraan yang baru.
Mendapat Angin Segar
”Di bawah UU yang baru, anak-anak hasil perkawinan campur memiliki dua kewarganegaraan sampai mereka berusia 18 tahun plus 3 tahun. Bagitu juga dengan para ibunya, yang boleh memilih kewarganegaraan yang diainginkannya, kecuali untuk empat negara seperti Bhutan, Taiwan, Iran dan Zimbabwe. Kecuali Bhutan yang memang mutlak, ketiga negara itu memberikan kesempatan selama tiga tahun bagi para wanita yang menikah dengan pria warga negaranya untuk mengikuti suaminya. Jadi, sekarang anak-anak bisa bersama ibunya tanpa harus mengurus berbagai surat perijinan, dan sang ibu sudah punya kekuatan hukum untuk melindungi anak-anak mereka. Diharapkan dengan adanya UU yang baru ini, bisa diminimalisir deh, korban-korbannya,” harap ibu dua putri, Nicola Ananda dan Tatiana Ananda, ini.
Auk sendiri mengaku bahwa sebenarnya mereka tidak mengalami banyak kesulitan selama ini dalam hal anak dan status dirinya sebagai warga negara karena sejak awal menikah dengan pria asing, ia sudah mengetahui hukum dan hak-haknya sebagai wanita Indonesia. Sebagai langkah antisipasi terhadap berbagai masalah yang mungkin saja timbul dalam perkawinannya kelak, ia dan mantan suaminya juga membuat perjanjian pra-nikah (prenuptial agreement).
”Saat itu saya sih merasa sepertinya kurang romantis atau terkesan materialistis. Tapi, mau tidak mau hal itu harus dilakukan, untuk menghindari masalah yang berhubungan dengan hal yang sensitif seperti uang dan masalah kepemilikan properti. Dan ternyata, hal itu terbukti. Meskipun sudah bercerai tapi saya tidak mengalami kesulitan karena sejak awal semuanya sudah ada aturannya,” ujarnya panjang lebar. ”Tapi sebagai rasa solidaritas saya terhadap teman-teman yang juga seperti saya, maka saya ikut berjuang keras meng-gol-kan UU Kewarganegaraan yang baru. Saya yakin, apa yang bermanfaat bagi saya, pasti juga akan bermanfaat bagi orang lain. Semoga saja,” harapnya santai.
Kini setelah disyahkannya UU Kewarganegaraan yang baru ini baik Auk maupun Bertha atau wanita yang melakukan pernikahan campuran dimanapun di Indonesia ini bisa bernafas lega, karena untuk kewarganegaraan setiap anak tidak perlu lagi mengurus ke instansi pemerintah seperti Imigrasi maupun instansi lainnya. Arti kata, dengan terbitnya surat keputusan ini maka kehidupan anak hasil pernikahan campuran antara WNI dengan negara asing menjadi lebih terjamin statusnya hingga umur 18 tahun plus masa pemilihan keyakinan kewarganegaraan selama 3 tahun ke depan. ”Seperti mendapat angin segar dengan di syahkannya UU Kewarganegaraan yang baru ini,” ujar Bertha
0 komentar :
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Sesuai Dengan Topik, Jangan Menggunakan Kata-Kata Kasar, Komentar Dengan Link Aktif Tidak Akan Dipublikasikan
ttd
Admin Blog