belajar matematika realistik
1. Pendahuluan
Pembelajaran Matematika
di SD belum memanfaatkan pengalaman anak sebagai sumber belajar di kelas.
Jika pengalaman anak dimanfaatkan
sebagai sumber belajar di kelas, maka dapat diperkirakan pembelajaran menjadi lebih bermakna. Pengaitan pengalaman
anak dengan ide-ide Matematika yang dipelajari di kelas penting untuk membuat
pembelajaran bermakna (Price, 1996; Soedjadi, 2000; Civil, 1998; Zamroni, 2000;
Binadja, 2000). Dengan kata lain, bila
dalam pembelajaran di kelas, pengalaman anak dijadikan inspirasi penemuan dan
pengonstruksian konsep-konsep serta diaplikasikan
kembali pada masalah sehari-hari, maka anak akan mengerti konsep-konsep dan
dapat melihat manfaat Matematika. Menurut Van den Heuvel-Panhuizen (2000), jika
anak belajar Matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari, maka anak
akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan Matematika, sedangkan Jenning
dan Dunne (1999) mengatakan bahwa kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam
mengaplikasikan Matematika ke dalam
situasi kehidupan real.
Pengimplementasian
Kurikulum 2004 menggunakan paradigma keberagaman, dalam arti guru diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus dan perangkat
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, dan sumber daya yang ada dengan tetap
berpatokan pada standar nasional. Menurut Puskur-Balitbang Depdiknas (2002) dan
Suharta (2002d;2005), kemampuan
pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasi matematik merupakan aspek penting
yang perlu mendapat penekanan pada semua jenjang. Hal ini berarti, dalam
konteks Kurikulum 2004, proses pembelajaran perlu dirancang sehingga kemampuan
siswa dalam pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasi matematik
berkembang. Bila pembelajaran Matematika
yang dirancang oleh guru tidak memperhatikan aspek pemecahan masalah, penalaran,
dan komunikasi, maka penerapan Kurikulum 2004 tidak berbeda dengan penerapan
Kurikulum 1994, sehingga perbaikan kualitas Pendidikan Matematika tidak
terlaksana.
Salah satu pendekatan
pembelajaran Matematika yang dapat menumbuhkembangkan pemecahan masalah,
penalaran, dan komunikasi matematik adalah pendekatan Realistik (PMR). Agar penerapan pendekatan Realistik dapat
berlangsung optimal, perlu didukung oleh buku siswa dan buku petunjuk guru yang
berorientasi pada prinsip-prinsip pendidikan Matematika Realistik. Karena
perangkat pembelajaran Matematika Realistik belum tersedia, perangkat pembelajaran
Matematika Realistik yang memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif perlu
dikembangkan. Dalam PMR, masalah kontekstual dijadikan pangkal tolak
pembelajaran. Siswa memecahkan masalah kontekstual dengan menggunakan cara-cara
informal. Berdasarkan cara-cara yang digunakan
siswa, dikembangkan pembelajaran lebih lanjut melalui matematisasi
horizontal dan vertikal sehingga siswa dapat menemukan dan merekonstruksi konsep-konsep pecahan.
Dengan kata lain, informasi yang diberikan kepada anak dikaitkan dengan apa
yang telah diketahui anak sehingga dapat
belajar dengan bermakna. Akibatnya, siswa mengerti dengan apa yang dipelajari.
Proses pembelajaran dengan menggunakan PMR dapat berlangsung optimal bila
penerapan PMR didukung oleh perangkat pembelajaran yang berorientasi pada
prinsip-prinsip PMR.
Sejak tahun 2001, Tim Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI) berupaya mengembangkan pendidikan Matematika Realistik yang sesuai
dengan karakteristik bangsa Indonesia
(teori pembelajaran global). Temuan Suharta (2004) tentang pengimplementasian
pendekatan Matematika Realistik di SD adalah aspek budaya lokal seperti rasa
malu, takut dikatakan ngae ngon/ngae aeng
(unjuk muka) sangat menghambat keterlaksanaan pembelajaran. Lebih lanjut,
Suharta mengemukakan bahwa pembelajaran Matematika merupakan aktivitas sosial
yang dipengaruhi oleh aspek budaya lokal, sehingga pendekatan pembelajaran Matematika
Realistik perlu diawali dengan upaya mengurangi aspek budaya lokal yang dapat
menghambat. Sesuai dengan ini, penelitian-penelitian tentang pengimplementasian
pendekatan Realistik perlu diupayakan untuk melahirkan teori-teori pembelajaran
lokal. Suharta (2004) menemukan langkah-langkah pembelajaran menggunakan PMR
yang didasarkan pada aspek budaya lokal tersebut, yang secara operasional
terdiri atas 4 langkah, yaitu (1) langkah pengenalan, (2) eksplorasi, (3) pengembangan, dan (4) peringkasan.
Langkah pengenalan dapat
dilakukan melalui diskusi, guru bersama siswa meninjau konsep-konsep prasyarat.
Guru memberikan masalah kontekstual kepada siswa, dan siswa diberi kesempatan
(waktu yang cukup) untuk memahami masalah serta mengungkapkan makna masalah
dengan kalimat sendiri. Guru mendorong siswa agar berani dan mau menyampaikan
pendapatnya, misalnya dengan mengatakan, “Ayo katakan saja, apa yang kamu
pikirkan”. “Apapun pendapatmu tentu berguna untuk yang lain”. “Bagaimana yang
lain?, “Setuju?”, “Ada
yang mempunyai pendapat lain?” Jika
mengalami kesulitan, siswa dapat dibantu dengan menggunakan bahasa
daerah. Pada langkah ini, karakteristik PMR yang muncul adalah menggunakan
masalah kontekstual, keterkaitan, membangkitkan keberanian siswa atau
mengurangi rasa takut, menghilangkan rasa malu, dan menghilangkan rasa khawatir
dikatakan ngae aeng/ngae ngon.
Dalam langkah eksplorasi,
siswa bekerja secara individual, berpasangan ataupun dalam kelompok kecil. Dalam bekerja, siswa mencoba membuat model
situasi masalah, berbagi (sharing) ide, melihat pola, membuat terkaan
dan mengembangkan strategi-strategi pemecahan masalah berdasarkan pengetahuan
informal ataupun pengalaman formal. Pada langkah ini, guru “mengelilingi” siswa
sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan pancingan, misalnya, “Apa ada cara
lain….?“,mengobservasi kerja siswa, dan mendorong siswa untuk bekerja. Siswa
secara individual/kelompok diberi kesempatan menyampaikan cara-cara yang
dilakukan, sedangkan yang lain menanggapinya. Guru menggunakan kata-kata
“Bagaimana yang lain?”. “Setuju?”. “Ada
yang mempunyai pendapat lain?”. “Ayo…!”. Tidak perlu malu atau takut salah….!
Apapun pendapatmu tentu berguna bagi
yang lain kemudian guru mendekati siswa yang malu/takut berpendapat dengan
mimik menyenangkan dan simpati,
mendorong ataupun menuntun siswa berpendapat. Dalam hal ini, karakteristik PMR
yang digunakan adalah menggunakan model-model, interaksi, dan mengembangkan
keberanian siswa, menghilangkan rasa takut/ malu, dan takut dikatakan ngae
aeng/ ngae ngon.
Langkah pengembangan
dimulai setelah siswa menunjukkan kemajuan dalam pemecahan masalah. Siswa
mendiskusikan cara-cara dan pemecahan-pemecahannya. Selama diskusi guru
membantu siswa meningkatkan aspek Matematika yang ada dalam masalah,
membimbing dan mengarahkan siswa dalam
cara-cara formal sesuai dengan tujuan materi. Dalam konteks ini guru dapat
berkata, “Pendapat-pendapat tadi semua bagus”. “Mari kita perhatikan satu per
satu atau yang ini!”. Karakteristik PMR yang digunakan dalam langkah ini adalah
produksi dan konstruksi siswa, dan interaksi serta meningkatkan keberanian siswa dan
menghilangkan rasa takut salah.
Dalam langkah peringkasan,
siswa membuat ringkasan atau rangkuman.
Misalnya, guru berkata, “Dari pembicaraan tadi…. apa yang dapat
disimpulkan….?” Atau, siswa diberi masalah untuk mengaplikasikan konsep-konsep
yang telah dipelajari. Karakteristik PMR yang digunakan dalam langkah ini
adalah interaksi yang disertai dengan meningkatkan keberanian siswa untuk berbeda
pendapat.
Permasalahan yang dipecahkan dalam penelitian ini adalah
menghasilkan perangkat pembelajaran Matematika Realistik yang valid, praktis,
dan efektif untuk siswa kelas I dan II
SD dalam rangka pengembangan
pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasi matematik.
Pemecahan masalah,
penalaran, dan komunikasi matematik merupakan aspek penting dalam implementasi
Kurikulum 2004, sehingga mempunyai implikasi dalam pembelajaran. Dengan kata
lain, pembelajaran yang dirancang oleh
guru harus mendukung pengembangan aspek pemecahan masalah, penalaran, dan
komunikasi matematik.
Menurut Baroody (1993),
pendekatan pemecahan masalah mempunyai fokus pemecahan masalah, penalaran, dan
komunikasi. Pendekatan pemecahan masalah
pada hakikatnya menggunakan masalah
sebagai pangkal tolak pembelajaran. Siswa diberikan kesempatan untuk
memecahkan masalah tersebut dengan menggunakan cara-cara informal, dan
selanjutnya cara-cara pemecahan siswa tersebut didiskusikan, dikonfrontasikan,
dan dinegosiasi untuk dapat menemukan pengetahuan matematika formal.
Paradigma
pembelajaran “siswa mengkonstruksi pengetahuan – guru memfasilitasi “, berpandu
pada aliran konstruktivis. Pengembangan kecakapan pemecahan masalah, penalaran,
dan komunikasi matematik dalam implementasi Kurikulum 2004 lebih dominan
diwarnai oleh paradigma ini. Salah satu pembelajaran yang berpotensi
mengembangkan kecakapan Matematika tersebut adalah yang menggunakan Pendekatan Matematika Realistik (PMR).
Pendekatan Matematika Realistik (PMR) pertama kali diperkenalkan dan
dikembangkan di Belanda pada tahun 1971 oleh Freudenthal. Filosofi PMR mengacu
pada interpretasi Freudenthal tentang Matematika sebagai aktivitas manusia. Interpretasi
Freudenthal tentang aktivitas diinspirasi dari aktivitas Matematikawan, seperti
pemecahan masalah, pencarian masalah, dan pengorganisasian materi. Inti dari
aktivitas adalah pengorganisasian materi dan disebut dengan matematisasi.
Konsekuensi dari Matematika sebagai aktivitas adalah siswa perlu diberikan
kesempatan untuk menemukan kembali ide atau konsep-konsep Matematika melalui
proses matematisasi, yaitu matematisasi realitas dan matematisasi matematik.
Matematisasi realitas berarti, Matematika perlu dikaitkan dengan realitas,
dekat dengan pengalaman siswa, dan relevan dengan masyarakat (Van den
Heuvel-Panhuizen, 2000). Upaya matematisasi realitas dilakukan melalui penjelajahan berbagai
situasi masalah-masalah “Realistik”. Realistik
dimaksudkan tidak hanya mengacu pada realitas, tetapi juga pada sesuatu
yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Dalam hal ini, masalah Realistik
berupa masalah kontekstual yaitu suatu masalah yang dekat dengan lingkungan
siswa. Matematisasi matematik merupakan
proses penemuan dan pengkonstruksian pengetahuan Matematika formal berdasarkan
pada cara-cara pemecahan informal yang dilakukan oleh siswa. Menurut Van den
Heuvel-Panhuizen (1998), Drijvers (1999) ada 5 karakteristik PMR, yaitu:
menggunakan masalah kontekstual, model-model, produksi dan konstruksi
siswa, interaksi, dan keterkaitan.
0 komentar :
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Sesuai Dengan Topik, Jangan Menggunakan Kata-Kata Kasar, Komentar Dengan Link Aktif Tidak Akan Dipublikasikan
ttd
Admin Blog